(Hasil Kongres XXII di
Banda Aceh 27-29 Juli 2008. Draft awal adalah keputusan
Konkernas PWI 4 – 10 Juli 2007 di Jayapura, Papua).
PEMBUKAAN
PEMBUKAAN
Bahwa sesungguhnya
salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana
diamanatkan oleh pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan
pers wajib dihormati oleh semua pihak.
Mengingat Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, seluruh
wartawan Indonesia menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers
yang bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
berdasarkan Pancasila.
Maka atas dasar itu,
demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu kewartawanan Indonesia
serta bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dengan ini Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan
dilaksanakan oleh seluruh wartawan terutama anggota PWI.
PENAFSIRAN
PEMBUKAAN
PENAFSIRAN
PEMBUKAAN
Kode Etik Jurnalistik
ialah ikrar yang bersumber pada hati nurani wartawan dalam melaksanakan
kemerdekaan mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh Pasal 28 UUD
1945, yang merupakan landasan konstitusional wartawan dalam menjalankan tugas
jurnalistiknya.
Kemerdekaan
mengeluarkan pikiran ialah hak paling mendasar yang dimiliki setiap insan
wartawan, yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua pihak. Sekalipun
kemerdekaan mengeluarkan pikiran merupakan hak wartawan yang dijamin
konstitusi, mengingat negara kesatuan Republik Indonesia ialah negara
berdasarkan hukum, maka setiap wartawan wajib menegakkan hukum, keadilan dan
kebenaran dalam menggunakan haknya untuk mengeluarkan pikiran.
Wartawan bersama
seluruh masyarakat, wajib mewujudkan prinsip-prinsip kemerdekaan pers yang
profesional dan bermartabat.
Tugas dan tanggungjawab
yang luhur itu hanya dapat dilaksanakan, apabila wartawan selalu berpegang
teguh kepada kode etik jurnalistik, dan masyarakat memberi kepercayaan penuh
serta menghargai integritas profesi tersebut.
Mengingat perjuangan
wartawan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa
Indonesia, maka selain bertanggungjawab kepada hati nuraninya, setiap wartawan
wajib bertangungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Masyarakat, Bangsa dan
Negara dalam melaksanakan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sesuai dengan
kode etik jurnalistik.
Sadar akan hak,
kewajiban dan tanggung jawabnya itu, dan untuk melestarikan kemerdekaan pers
yang profesional dan bermartabat serta kepercayaan masyarakat, maka dengan
ikhlas dan penuh kesadaran wartawan menetapkan kode etik jurnalistik yang wajib
ditaati dan diterapkan.
BAB I
KEPRIBADIAN
DAN INTEGRITAS
PENAFSIRAN
Wartawan harus
memiliki kepribadian dalam arti keutuhan dan keteguhan jati diri, serta
integritas dalam arti jujur, adil, arif dan terpercaya.
Kepribadian dan
integritas wartawan yang ditetapkan di dalam Bab I Kode Etik Jurnalistik
mencerminkan tekad PWI mengembangkan dan memantapkan sosok Wartawan sebagai
profesional, penegak kebenaran, nasionalis, konstitusional dan demokratis serta
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 1
Wartawan beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa
Pancasila taat Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, bersikap
independen serta terpercaya dalam mengemban profesinya.
PENAFSIRAN
Pasal 1
Pasal 1
1.
Semua perilaku, ucapan dan karya
jurnalistik wartawan harus senantiasa dilandasi, dijiwai, digerakkan dan
dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta oleh
nilai-nilai luhur Pancasila, dan mencerminkan ketaatan pada Konstitusi Negara.
2.
Ciri-ciri wartawan yang kesatria, adalah
:
·
Berani membela kebenaran dan keadilan;
·
Berani mempertanggungjawabkan semua
tindakannya, termasuk karya jurnalistiknya;
·
Bersikap demokratis
·
Menghormati kebebasan orang lain dengan
penuh santun dan tenggang rasa;
·
Dalam menegakkan kebenaran, senantiasa
menjunjung tinggi harkat-martabat manusia dengan menghormati orang lain,
bersikap demokratis, menunjukkan kesetiakawanan sosial.
3.
Yang dimaksud dengan mengabdi kepada
kepentingan bangsa dan negara adalah, wartawan Indonesia sebagai makluk sosial
yang bekerja bukan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau golongan,
melainkan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara;
4.
Independen berarti memberitakan
peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan,
paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
5.
Terpercaya adalah orang yang berbudi
luhur, adil, arif dan cermat, serta senantiasa mengupayakan karya terbaiknya.
Profesi adalah pekerjaan tetap yang memiliki
unsur-unsur :
·
Himpunan pengetahuan dasar yang bersifat
khusus;
·
Terampil dalam menerapkannya;
·
Tata cara pengujian yang obyektif;
·
Kode Etik serta lembaga pengawasan dan
pelaksanaan penaatannya.
Pasal 2
Wartawan dengan penuh
rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan
karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang dapat
membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa,
menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang
dilindungi oleh undang-undang dan prasangka atau diskriminasi terhadap jenis
kelamin, orang cacat, sakit, miskin atau lemah.
PENAFSIRAN
Pasal 2
Pasal 2
Wartawan wajib
mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan tulisan, gambar, suara, serta suara
dan gambar dengan tolok ukur :
Yang dapat
membahayakan keselamatan dan keamanan negara ialah memaparkan atau menyiarkan
rahasia negara atau rahasia militer, dan berita yang bersifat spekulatif.
Mengenai penyiaran berita yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang, wartawan perlu memperhatikan kesepakatan selama ini menyangkut isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dalam masyarakat. Tegasnya, wartawan Indonesia menghindari pemberitaan yang dapat memicu pertentangan suku, agama, ras dan antargolongan.
Mengenai penyiaran berita yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang, wartawan perlu memperhatikan kesepakatan selama ini menyangkut isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dalam masyarakat. Tegasnya, wartawan Indonesia menghindari pemberitaan yang dapat memicu pertentangan suku, agama, ras dan antargolongan.
Pasal 3
Wartawan tidak
beriktikad buruk, tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara,
serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bohong,
bersifat fitnah, cabul, sadis, dan sensasional.
PENAFSIRAN
Pasal 3
Pasal 3
1. Yang dimaksud tidak beriktikad
buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.
2. Yang dimaksud dengan menyesatkan
adalah berita yang membingungkan, meresahkan, membohongi, membodohi atau
melecehkan kemampuan berpikir khalayak.
3. Yang dimaksud dengan memutarbalikkan
fakta, adalah mengaburkan atau mengacau-balaukan fakta tentang suatu peristiwa
dan persoalan, sehingga masyarakat tidak memperoleh gambaran yang lengkap,
jelas, pasti dan seutuhnya untuk dapat membuat kesimpulan dan atau menentukan
sikap serta langkah yang tepat.
4. Yang dimaksud dengan bersifat fitnah,
adalah membuat kabar atau tuduhan yang tidak berdasarkan fakta atau alasan yang
dapat dipertanggung jawabkan.
5. Yang dimaksud dengan Cabul, adalah
melukai perasaan susila dan berselera rendah.
6. Yang dimaksud dengan sadis, adalah
kejam, kekerasan dan mengerikan
7. Yang dimaksud dengan sensasi
berlebihan, adalah memberikan gambaran yang melebihi kenyataan sehingga bisa
menyesatkan.
Pasal 4
Wartawan tidak
menyalahgunakan profesinya dan tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau
tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suar, suara dan gambar),
yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.
PENAFSIRAN
Pasal 4
Pasal 4
1. Yang dimaksud
dengan imbalan adalah pemberian dalam bentuk materi, uang, atau fasilitas
kepada wartawan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita dalam bentuk
tulisan di media cetak, tayangan di layar televisi atau siaran di radio siaran.
Penerimaan imbalan sebagaimana dimaksud Pasal ini, adalah perbuatan tercela.
2. Semua tulisan atau siaran yang bersifat sponsor atau pariwara di media massa harus disebut secara jelas sebagai penyiaran sponsor atau pariwara.
Penerimaan imbalan sebagaimana dimaksud Pasal ini, adalah perbuatan tercela.
2. Semua tulisan atau siaran yang bersifat sponsor atau pariwara di media massa harus disebut secara jelas sebagai penyiaran sponsor atau pariwara.
BAB II
CARA PEMBERITAAN
Pasal 5
Wartawan menyajikan
berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta
tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi dan
opini, disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.
Penyiaran karya jurnalistik rekaulang dilengkapi dengan keterangan,
data tentang sumber rekayasa yang ditampilkan.
PENAFSIRAN
Pasal 5
1.
Yang dimaksud berita secara berimbang
dan adil ialah menyajikan berita yang bersumber dari berbagai pihak yang
mempunyai kepentingan, penilaian atau sudut pandang masing-masing kasus secara
proporsional.
2.
Mengutamakan kecermatan dari kecepatan,
artinya setiap penulisan, penyiaran atau penayangan berita hendaknya selalu
memastikan kebenaran dan ketepatan sesuatu peristiwa dan atau masalah yang
diberitakan.
3.
Tidak mencampuradukkan
fakta dan opini, artinya seorang wartawan tidak menyajikan
pendapatnya sebagai berita atau fakta.
Apabila suatu berita
ditulis atau disiarkan dengan opini, maka berita tersebut wajib disajikan
dengan menyebutkan nama penulisnya.
Pasal 6
Wartawan menghormati
dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara
dan gambar) kehidupan pribadi, kecuali menyangkut kepentingan umum.
PENAFSIRAN
Pasal 6
Pasal 6
Pemberitaan hendaknya
tidak merendahkan atau merugikan harkat-martabat, derajat, nama baik serta
perasaan susila seseorang. Kecuali perbuatan itu bisa berdampak negatif bagi
masyarakat.
Pasal 7
Wartawan selalu
menguji informasi, menerapkan prinsip adil, jujur, dan penyajian yang
berimbang serta menghormati asas praduga tak bersalah.
Wartawan menghormati
asas praduga tak bersalah, senantiasa menguji kebenaran informasi, dan
menerapkan prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang serta.
PENAFSIRAN
Pasal 7
Pasal 7
Seseorang tidak boleh
disebut atau dikesankan bersalah melakukan sesuatu tindak pidana atau
pelanggaran hukum lainnya sebelum ada putusan tetap pengadilan.
Prinsip adil, artinya tidak memihak atau menyudutkan seseorang atau sesuatu pihak, tetapi secara faktual memberikan porsi yang sama dalam pemberitaan baik bagi polisi, jaksa, tersangka atau tertuduh, dan penasihat hukum maupun kepada para saksi, baik yang meringankan maupun yang memberatkan.
Prinsip adil, artinya tidak memihak atau menyudutkan seseorang atau sesuatu pihak, tetapi secara faktual memberikan porsi yang sama dalam pemberitaan baik bagi polisi, jaksa, tersangka atau tertuduh, dan penasihat hukum maupun kepada para saksi, baik yang meringankan maupun yang memberatkan.
Jujur, mengharuskan
wartawan menyajikan informasi yang sebenar-benarnya, tidak dimanipulasi, tidak
diputarbalikkan.
Berimbang, tidak
bersifat sepihak, melainkan memberi kesempatan yang sama kepada pihak yang
berkepentingan.
Pasal 8
Wartawan tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebut
identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
PENAFSIRAN
Pasal 8
Pasal 8
Tidak menyebut nama
dan identitas korban, artinya pemberitaan tidak memberikan petunjuk tentang
siapa korban perbutan susila tersebut baik wajah, tempat kerja, anggota
keluarga dan atau tempat tinggal, namun boleh hanya menyebut jenis kelamin dan
umur korban. Kaidah-kaidah ini juga berlaku dalam kasus pelaku kejahatan di
bawah umur (di bawah 16 tahun).
BAB III
BAB III
SUMBER BERITA
Pasal 9
Wartawan menempuh cara
yang profesional, sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik
(tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan
identitasnya kepada sumber berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat
investigative.
PENAFSIRAN
Pasal 9
Pasal 9
1.
Sopan, artinya wartawan
berpenampilan rapi dan bertutur kata yang baik. Juga, tidak menggiring, memaksa
secara kasar, menyudutkan, a priori, dan sebagainya, terhadap sumber berita.
2.
Terhormat, artinya memperoleh bahan
berita dengan cara-cara yang benar, jujur dan ksatria.
3.
Mencari dan mengumpulkan bahan berita
secara terbuka dan terang-terangan sehingga sumber berita memberi keterangan
dengan kesadaran bahwa dia turut bertanggung jawab atas berita tersebut. (Contoh,
tidak menyiarkan berita ‘hasil nguping’).
4.
Menyatakan identitas pada dasarnya perlu
untuk penulisan berita peristiwa langsung (straight news), berita ringan (soft
news), karangan khas (features), dan berita pendalaman (in-depth reporting).
Untuk berita hasil penyelidikan/pengusutan (investigative reporting), pada
saat pengumpulan fakta dan data wartawan boleh tidak menyebut identitasnya.
Tetapi, pada saat mencari kepastian (konfirmasi) pada sumber yang berwenang,
wartawan perlu menyatakan diri sedang melakukan tugas kewartawanan kepada
sumber berita.
Pasal 10
Wartawan dengan
kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang
tidak akurat dengan disertai permintaan maaf, dan memberi kesempatan hak jawab
secara proporsional kepada sumber atau obyek berita.
PENAFSIRAN
Pasal 10
Pasal 10
Hak jawab diberikan
pada kesempatan pertama untuk menjernihkan duduk persoalan yang diberitakan. Pelurusan
atau penjelasan tidak boleh menyimpang dari materi pemberitaan bersangkutan,
dan maksimal sama panjang dengan berita sebelumnya.
Pasal 11
Wartawan harus
menyebut sumber berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber
berita serta meneliti kebenaran bahan berita .
PENAFSIRAN
Pasal 11
Pasal 11
1.
Sumber berita merupakan penjamin
kebenaran dan ketepatan bahan berita. Karena itu, wartawan perlu memastikan
kebenaran berita dengan cara mencari dukungan bukti-bukti kuat (atau otentik)
atau memastikan kebenaran dan ketepatannya pada sumber-sumber terkait. Upaya
dan proses pemastian kebenaran dan ketepatan bahan berita adalah wujud iktikad,
sikap dan perilaku jujur dan adil setiap wartawan profesional.
2.
Sumber berita dinilai memiliki
kewenangan bila memenuhi syarat-syarat:
Kesaksian langsung. Ketokohan/Keterkenalan Pengalaman. Kedudukan/jabatan terkait. Keahlian.
Kesaksian langsung. Ketokohan/Keterkenalan Pengalaman. Kedudukan/jabatan terkait. Keahlian.
Pasal 12
Wartawan tidak
melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut
sumbernya.
PENAFSIRAN
Pasal 12
Mengutip berita,
tulisan atau gambar hasil karya pihak lain tanpa menyebut sumbernya merupakan
tindakan plagiat, tercela dan dilarang.
Pasal 13
Wartawan dalam
menjalankan profesinya memiliki hak tolak untuk melindungi identitas dan
keberadaan narasumber yag tidak ingin diketahui. Segala tanggung jawab
akibat penerapan hak tolak ada pada wartawan yang bersangkutan.
PENAFSIRAN
Pasal 13
PENAFSIRAN
Pasal 13
1.
Nama atau identitas sumber berita perlu
disebut, kecuali atas permintaan sumber berita itu untuk tidak disebut nama
atau identitasnya sepanjang menyangkut fakta lapangan (empiris) dan data.
2.
Wartawan mempunyai hak tolak, yaitu hak
untuk tidak mengungkapkan nama dan identitas sumber berita yang dilindunginya.
3.
Terhadap sumber berita yang dilindungi
nama dan identitasnya hanya disebutkan “menurut sumber“ (tetapi tidak perlu
menggunakan kata-kata “menurut sumber yang layak dipercaya”). Dalam hal ini,
wartawan bersangkutan bertanggungjawab penuh atas pemuatan atau penyiaran
berita tersebut.
Pasal 14
Wartawan menghormati
ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang
oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan “off the record”.
PENAFSIRAN
Pasal 14
PENAFSIRAN
Pasal 14
1.
Embargo, yaitu permintaan menunda
penyiaran suatu berita sampai batas waktu yang ditetapkan oleh sumber berita,
wajib dihormati.
2.
Bahan latar belakang adalah informasi
yang tidak dapat disiarkan langsung dengan menyebutkan identitas sumber berita,
tetapi dapat digunakan sebagai bahan untuk dikembangkan dengan penyelidikan
lebih jauh oleh wartawan bersangkutan, atau dijadikan dasar bagi suatu karangan
atau ulasan yang merupakan tanggung jawab wartawan bersangkutan sendiri.
3.
Keterangan “off the record” atau
keterangan bentuk lain yang mengandung arti sama diberikan atas perjanjian
antara sumber berita dan wartawan bersangkutan dan tidak disiarkan. Untuk
menghindari salah faham, ketentuan “off the record” harus dinyatakan secara
tegas oleh sumber berita kepada wartawan bersangkutan.
Ketentuan tersebut dengan sendirinya tidak berlaku bagi wartawan yang dapat membuktikan telah memperoleh bahan berita yang sama dari sumber lain tanpa dinyatakan sebagai “off the record”.
Ketentuan tersebut dengan sendirinya tidak berlaku bagi wartawan yang dapat membuktikan telah memperoleh bahan berita yang sama dari sumber lain tanpa dinyatakan sebagai “off the record”.
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK
JURNALISTIK
Pasal 15
Wartawan harus dengan
sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI)
dalam melaksanakan profesinya.
PENAFSIRAN
Pasal 15
Pasal 15
Kode Etik Jurnalistik
dibuat oleh wartawan, dari dan untuk wartawan sebagai acuan moral dalam
menjalankan tugas kewartawanannya dan berikrar untuk menaatinya.
Pasal 16
Wartawan menyadari
sepenuhnya bahwa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani
masing-masing.
PENAFSIRAN
Pasal 16
Pasal 16
Penaatan dan
pengamalan kode etik jurnalistik bersumber dari hati nurani masing-masing
wartawan.
Pasal 17
Wartawan mengakui
bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihakpun
diluar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan dan atau medianya berdasar pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.
PENAFSIRAN
Pasal 17
PENAFSIRAN
Pasal 17
1.
Kode Etik Jurnalistik ini merupakan
pencerminan adanya kesadaran profesional. Hanya PWI yang berhak mengawasi
pelaksanaannya dan atau menyatakan adanya pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh wartawan serta menjatuhkan sanksi atas wartawan
bersangkutan.
2.
Pelanggaran kode etik jurnalistik tidak
dapat dijadikan dasar pengajuan gugatan pidana maupun perdata.
Dalam hal pihak luar
menyatakan keberatan terhadap penulisan atau penyiaran suatu berita, yang
bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada PWI melalui Dewan Kehormatan
PWI. Setiap pengaduan akan ditangani oleh Dewan Kehormatan sesuai dengan
prosedur yang diatur dalam pasal-pasal 22, 23, 24, 25, 26 dan 27
Peraturan Rumah Tangga PWI.
Peraturan
Dasar/Peraturan Rumah Tangga dan Kode Etik Jurnalistik PWI sesuai dengan hasil
Kongres XXII PWI di Banda Aceh 27-29 Juli 2008.
Semoga bermanfaat :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar