Kamis, 04 April 2013

Perhaps Love Ost Princes Hours

Perhaps Love 

On-je-yot-don-gon-ji / gi-yong na jin ah-na 
ja-ku nae mo-ri-ga / no-ro u-ji-rop-don shi-jak 
han-du bon-shik / doh-oh-ryu-dun seng-gak 
ja-ku nul-o-ga-so / jo-gum dang-hwang-su-ru-un i ma-umpyol-il-I ah-nil su it-da-go / sa-so-han ma-umi-ra-go 
ni-ga ne-ge ja-ku (ne ge ja ku) 
ma-rul ha-nun / geh o-saeng-han-gol 


Chorus: 

sa-rang-in-ga-yo / ku-de nah-wa gat-da-myon shi-jahk-in-ga-yo 
ma-mi jah ku gu dael / sa-rang-han-dae-yo 
on se-sang-i dud-du-rok / so-ri-chi-ne-yo 
wae i-je-ya dul-li-jyoh oooohh… 
so-rol man-na-gi we-hyae / i-je-ya sa-rang cha-jat-da-go 


ji-gum nae ma-umul / sol-myong-ha-ryoh hae-do 
ne-ga nae-ga dwe-o mamul nu kki nun bang bop ppun in de 


i-mi nan ni / a-ne / it-nun-gol 
ni a-ne / ni-ga it-du shi 
u-rin so-ro-we-ge (so ro we ge) 
i-mi gil-dul-yo / jin-ji mo-la 
 

Repeat Chorus: 

Seng-gak-hae-bo-myon (saeng gahk hae boh myuhn) 
Manh-un sun-gan-so-ke (so ke) 
Ol-ma-na manhun (yeah) sol-le-im it-ot-nun-ji 
jo-gum nujun gu man-kum nan do jal-hyae jul-kke-yo 


ham-ke hal-ke-yo / chu-wok-i dwel giokman sol-mul-hal-ke-yo 
da-shin nae gyote-so / ddo-na-ji ma-yo 
jjal-bun sun-gan-jo-cha-do bul-an-han gol-yo 
nae-ge mo-mul-lo-jwoyo oooohh… 
Gu-dael i-roh-ke ma-nhi (gu to rok ma-nhi) 
Sarang-ha-go wi-so-yo (gu dae yo ya mahn) i mi

Komunikasi Masyarakat Madura

To' oto Kebudayaan Madura

A.    Latar belakang masalah
Berbicara tentang kebudayaan tentu tidak akan ada habisnya. Indonesian adalah negara yang kental dengan kebudayaannya. Salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia adalah kebudayaan Madura.  Madura adalah pulau yang mempunyai luas  4887 km, panjang 190 km, lebar 40km dan beriklim tropis. Pulau madura  terbagi menjadi 4 kabupaten yaitu Bankalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Madura dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya akan kebudayaan, selain itu Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Salah satu dari kebudayaan madura adalah To’ oto’.
To’ otok sama halnya seperti arisan. Akan tetapi di Madura arisan ini diadakan oleh seseorang yang sedang  ada hajat, dan orang yang menyumbangkan arisannya itu akan menganggap orang  yang mengadakan arisan tersebut sedang berhutang pada orang-orang yang mengikuti arisan tersebut.
Maka dari itu Kita sebagai orang asli Madura harus mengenal dan melestarikan budaya Madura yang masih hidup, bahkan yang akan dan telah punah. Pengenalan terhadap berbagai macam kebudayaan Madura tersebut akan diharapkan mampu menggugah rasa kebangsaan kita akan kesenian daerah.
A.    Rumusan masalah
1.      Kebudayaan apa saja yang terdapat di Madura ?
2.      Bagaimana sejarah oto’ oto’ di Madura?
3.      Bagaimana pelaksanaan oto’oto’ di Madura?

B.     Pembahasan
Pulau Madura yang terdiri dari empat kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep, terletak di timur laut pulau jawa dengan koordinat sekitar 7 lintang selatan dan antara 112 dan 114 bujur timur. Panjang pulau Madura kurang lebih 190 km, jarak terlebar 40 km, dan luas secara keseluruhan 5.304 meter. Ketinggian paling rendah adalah daerah-daerah pantai baik dibagian barat, utara, timur, dan, sedangkan ketinggian tertinggi menyebar di bagian tengah pulau berupa pegunungan-pegunungan kecil. Pulau ini dikelilingi pulau-pulau kecil yang jumlahnya lebih dari 100, baik yang berpenghuni maupun yang tidak. Kebanyakan pulau-pulau kecil ini berada di bagian timur (De Jonge, 1989:5).
Walaupun Madura dikenal dengan penduduknya yang kasar tanahnya yang tandus, tetapi tidak sedikitpun mengurangi keindahan kebudayaan Madura. Pulau Madura memiliki kebudayaan yang sangat beragam dan menarik, berikut akan kami paparkan butir-butir kebudayaan yang ada di pulau Madura :
1.      To’oto’
To’oto’ adalah sebuah tradisi pelaksanaan walimah/pesta (perjamuan) bagi masyarakat Madura. Budaya ini sudah mendarah daging dalam pelaksanaan walimah/pesta yang pelaksanaannya bertujuan untuk mempererat silaturrahmi dan mengumpulkan uang. Tradisi ini hampir mirip dengan arisan, tetapi biasanya hanya dilaksanakan khusus untuk pelakanaan walimah pernikahan.
2.      Kerapan sapi
Kerapan sapi merupakan sebuah seni pertunjukan yang didalamnya terdapat kerapan sapi serta topeng dalang. Kerapan sapi merupakan perlombaan memacu sapi. Kesenian ini diperkenalkan pada abad ke-15 (1561 M) pada pemerintahan Pangeran Katandur di daerah karaton Sumenep.
Kesenian dan kebudayaan Madura ini diikuti oleh para petani. Tujuannya untuk memberikan motivasi kepada petani agar tetap semangat untuk bekerja dan dapat meningkatkan produksi ternak sapinya. Seiring dengan berjalannya waktu, kerapan sapi ini sudah banyak disalahgunakan sehingga lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Contohnya seperti banyak diantara para pemain dan penonton yang melupakan kewajibannya untuk melaksanakan shalat. Kerapan sapi merupakan pemasok utam dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah karena kerapan sapi mampu menarik perhatian wisatawan asing berkunjung ke Madura.  
3.      Tembang macapat
Pada awalnya, tembang atau nyanyian dalam kebudayaan Madura ini dipakai sebagai media untuk memuji Allah Swt sebelum dilaksanakan shalat wajib. Macopat atau juga ada yang menyebutnya dengan mamaca (menbaca), merupakan kebudayaan madura yang juga bisa dikategorikan berbentuk kesenian. Tembang dilantunkan dengan syair-syair tertentu, atau juga yang dikanal dengan istilah tembeng. Biasanya dalam pembacaan macopat ini terkadang diringi dengan alunan musik, dan yang sering dengan menggunakan seruling. Lambat laut tembang ini dipakai untuk mengajak masyarakat Madura mencintai ilmu pengetahuan dan membenahi kerusakan moral yang terjadi.
4.      Musik saronen
Musik ini berasal dari desa Sendang, kecamatan Pragaan, kabupaten Sumenep. Jika di Madura diadakan sebuah kesenian, musik saronen inilah yang mengiringinya. Musik saronen merupakan perpaduan dari beberapa alat musik, tetapi yang paling dominan adalah alat musik tiup berupa kerucut. Nah, alat musik tiup itulah yang disebut dengan saronen.
5.      Rokat tase’
Tradisi ” Rokat Tase’ ” dilakukan untuk mensyukuri karunia serta nikmat yang diberikan oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Dan juga agar diberikan keselamatan dan kelancaran rezeki dalam bekerja.Ritual atau tradisi tersebut, biasanya dimulai dengan acara pembacaan istighotsah dan tahlil bersama oleh masyarakat yang dipimpin oleh pemuka agama setempat.Setelah itu, masyarakat melepaskan sesaji ke laut sebagai rasa ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun isi dari sesaji itu adalah ketan-ketan yang berwarna-warni, tumpeng, ikan-ikan, dan lain sebagainya. Ritual atau tradisi tersebut disebut ” Rokat Tase’ ” oleh penduduk setempat.


6.      Carok
Carok bisa dikategorikan menjadi dua, ada carok yang spontans dan carok yang direncanakan. Kalau carok yang spontans, saat ini sulit terjadi karena orang Madura sekarang jarang membawa senjata tajam (sikep). Mereka pergi ke sawah dengan membawa senjata terkadang hanya untuk menjaga diri, pada umumnya orang itu sudah memiliki musuh, Proses terjadinya carok, di mulai dengan adanya perjanjian, pihak yang pertama biasanya memberi tahu pihak yang kedua melalui orang lain untuk bertemu di tempat tertentu.
Di Madura, carok umumnya berkaitan dengan masalah perempuan atau masalah irigasi, yaitu persoalan perairan di sawah. Ketika ada air dari sungai besar dialirkan ke sawah yang lain atau ditutup sehingga sawah yang jauh tidak kebagian air, sehingga terjadi pertengkaran karena tanaman sawahnya terganggu. Di samping itu, Kebanyakan, orang madura lebih percaya kepada pembicaraan orang lain, walaupun hanya kabar angin. Seperti istrimu diselingkuhi, padahal tujuannya hanya untuk merusak, motif –motif ini juga menjadi awal terjadinya carok.
BUDAYA TO’ OTO’/REMO
Salah satu budaya atau kebiasaan masyarakat Madura, khususnya di daerah Kabupaten Bangkalan dan Sampang, yang saat ini masih berlangsung dan masih ada kaitannya dengan carok, adalah menyelenggarakan semacam pesta yang di sebut remo atau to’ oto’. Pada dasarnya, remo dan to’ oto’ adalah sama. Perbedaanya hanya terletak pada jenis hiburan yang disajikan serta jumlah tamu yang datang atau diundang. Hiburan yang disajikan dalam remo adalah sandur Madura, yaitu jenis kesenian tradisional semacam ludruk yang dimeriahkan oleh penari-penari (tanda’) laki-laki dan diiringi oleh gamelan. Dengan adanya hiburan sandur ini, para peserta remo dapat menunjukkan kapasitasnya sebagai orang blater ketika tiba pada acara inti, yaitu menari dengan jenis tarian tertentu sesuai dengan pilihannya.
Remo/to’oto’ pada prinsipnya merupakan suatu pesta tempat berkumpulnya para jago dan blater dari seluruh desa di wilayah Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Penyelenggaraanya mirip dengan arisan, yaitu setiap peserta yang hadir harus menyerahkan sejumlah uang kepada penyelenggara. Sebaliknya, penyelenggara mempunyai kewajiban yang sama kepada para tamunya jika mereka menyelenggarakan remo. Dengan demikian, hubungan diantara peserta remo di landasi semangat resiprositas.
Karena remo merupakan suatu pesta tempat berkumpulnya para jago dan blater dari seluruh desa, seseorang yang dikenal sebagai orang jago akan merasa belum lengkap predikat kejagoannya jika belum ikut menjadi anggota remo. Melalui media remo, mereka dapat memperkenalkan kapasitas dirinya sekaligus akan memperoleh pengakuan secara sosial dari khalayak yang lebih luas. Akan tetapi ada kalanya seorang jago atau blater belum ikut remo terutama karena alasan ekonomi. Dalam pembicaraan sehari-hari, orang yang menjadi anggota remo sering kali disebut “ablater” (kata awalan a dalam bahasa madura menunjukkan pada kata kerja aktif). Ada juga sementara orang yang menggunakan kata “abajhing” untuk menyebut hal yang sama.
Seorang jago yang ikut menjadi anggota remo serta merta menjadi orang blater. Sebaliknya, orang blater sudah pasti ikut remo, namun belum tentu sebagai seorang jago. Status sebagai seorang jago atau blater ini bukanlah merupakan status yang askripsi (ascribed status). Oleh karena itu, orang jago maupun orang blater tidak harus dari lapisan sosial tertentu. Begitu seorang sudah diakui sebagai orang jago atau blater, biasanya statusnya selalu diperlakukan sebagai tokoh informal yang sangat disegani, bahkan ditakuti, dan serta merta semua orang di lingkungannya menjadi pengikutnya. Jika seorang jago atau blater kebetulan menjabat sebagai kepala desa maka seluruh penduduk desa akan tunduk (dalam arti takut) kepadanya. Kewibawaan seorang jago selalu melebihi kewibawaan pemimpin formal, katakanlah seorang camat. Salah satu contoh kasus tentang figur orang seperti ini adalah Mat Roji, Kepala Desa Panaongan dalam wilayah kabupaten Bangkalan. Pemilihan dirinya sebagai kepala desa tidak terlepas dari kapasitasnya sebagai orang jago dan blater.
Menurut pengakuan seorang camat yang membawahi Desa Panaongan, kapasitas diri Mat Roji benar-benar mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keamanan desa serta keberhasilan pelaksanaan program-program pembangunan desanya. Buktinya tidak pernah sekalipun warga Desa Panaongan mengalami peristiwa pencurian. Selain itu, dalam pelaksanaan pemungutan pajak (Pajak Bumi dan Bangunan) desa ini tidak pernah menunggak, bahkan selalu menyetor lebih awal dari batas waktu yang ditentukan.
Secara ekonomi, remo merupakan suatu sarana pesertanya untuk dapat mengumpilkan uang dalam jumlah yang relatif besar hanya dalam jangka satu malam. Semua itu sangat tergantung pada jumlah uang bhubuwan yaitu jumlah uang yang pernah diserahkan kepada anggota yang lain. Semakin besar jumlah uang bhubuwan, maka semakin besar pula jumlah uang yang akan diterima kembali. Ketika seorang peserta remo menyerahkan uang uang bhubuwan, orang Madura menyebutnya mowang (membuang), sedang ketika menerima kembali uang itu disebutnya ngaot (mengumpulkan). Dengan demikian, semakin banyak mowang, semakin banyak pula ngaot. Peserta remo yang kebetulan sebagai tokoh (kepala desa atau tetua desa) selalu mowang lebih banyak dari pada orang bukan tokoh sehingga akan semakin banyak pula dia dapat mengumpulkan uang (ngaot).
Syarat untuk dapat menjadi anggota remo yang terutama adalah mempunyai kemampuan secara ekonomi dan bertanggung jawab. Persyaratan secara ekonomi yang berati kemampuan mowang penting karena kontinuitas keanggotaan dalam remo sangat tergantung pada kontinuitas abhubu (menghadiri remo dengan menyerahkan sejumlah uang). Uang yang telah diserahkan pada prinsipnya adalah “simpanan” yang baru dapat dinikmati jika kelak dia senditi menyelenggarak remo. Oleh karena itu, setiap peserta remo harus betul-betul memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam hal mengembalikan uang yang pernah diterima dari peserta lain jika peserta ini pada suatu saat menyelenggarakan remo pula.
Dalam hal pengembalian uang, selain harus dilandasi oleh rasa tanggung jawab yang besar, seorang peserta remo harus labih berhati-hati . Menurut aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama, jaumlahnya harus lebih tinggi (daripada yang pernah diterimanya) jika yang bersangkutan masih berkeinginan untuk tetap terus menjadi peserta. Sebagai contoh ketika seorang penyelenggara remo menerima uang dari seorang peserta sejumlah Rp. 100.000,00 maka uang yang harus dikembalikan lebih besar daripada jumlah itu, misalnya Rp. 125.000,00. Memberikan sejumlah uang yang melebihi uang yang pernah diterimanya disebut “ngompange”, sebaliknya ketika menerima uang melebihi uang yang pernah diserahkan disebut “kaompangan”. Proses pertukaran semacam ini pada dasarnya membuat setiap anggota remo terjerat utang yang berkepanjangan satu sama lain. Sebab, jika hanya mengembalikan uang sejumlah yang diterimanya, hal ini akan diartikan sebagai pertanda akan mengakhiri keanggotaan remonya. Jikahal ini terjadi tanpa disertai alasan yang jelas, maka semua peserta remo cenderung akan mencibirnya karena dianggap sudah pelit dan tidak pantas lagi disebut sebagai blater. Bahkan, secara ekstrim akan dianggap sudah mati.
Disetiap desa biasanya terdapat seorang tokoh yang bertindak sebagai koodinator remo. Seseorang yang ingin ikut menjadi peserta remo harus memberitahukan sekaligus mendaftar kepadanya. Selama memenuhi kadua persyaratan, yaitu mampu secara ekonomi dan mau bertanggung jawab untuk tidak lalai menghadiri remo (dalam arti abhubu), setiap orang dapat menjadi anggota remo.
Dalam acara to’ oto’  tidak terdapat pada penyelenggaraan to’oto’, karena hiburan yang disajikan hanya barupa tembang-tembang dan gending-gending Madura yang dikumandangkan melalui alat perekam (tape recoder). Ada kalanya pihak penyelenggara to’oto’ sengaja mendatangkan beberapa beberapa penyanyi lagu-lagu dangdut untuk menghibur para tamu serta pengunjung dan mengajak mereka berkaraoke bersama. Dengan demikian, dari jauh orang sudah dapat membedakan apakah ada penyelenggaraan remo atau to’oto’.
Perbedaan keduanya adalah jumlah tamu yang datang ke remo biasanya mencapai sampai ratusan orang, karena mereka datang atau berasal dari hampir seluruh pelosok kabupaten, bahkan tidak jarang dari luar kabupaten. Sebaliknya, jumlah tamu to’oto’ biasanya hanya maencapai puluhan orang karena undangan disebar pada lingkungan terbatas; dalam arti, hanya mencakup tetangga dekat atau kenalan dekat. Semua tamu, baik pada penyelenggaraan remo maupun to’oto’ sebelumnya telah tercatat sebagai anggota. Maksud dan tujuan penyelenggaraan to’oto tidak berbeda dengan maksud dan tujuan remo, yaitu untuk “menyelamati badan sekeluarga” atau “menyelamati badan sendiri”. Tujuan ini selalu dicantumkan dibagian belakang kartu undangan, sedangkan dibagian depan tercantum nama penyelenggara. Karena substansi antara remo dan to’oto’ tidak berbeda, meski remo lebih populer di kalangan masyarakat.
Daftar pustaka
Wiyata Latief, 2002. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.         Yogyakarta:LkiS
http://jawatimuran.wordpress.com/2013/01/10/budaya-tooto-madura