To' oto Kebudayaan Madura
A.
Latar
belakang masalah
Berbicara
tentang kebudayaan tentu tidak akan ada habisnya. Indonesian adalah negara yang
kental dengan kebudayaannya. Salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia
adalah kebudayaan Madura. Madura adalah
pulau yang mempunyai luas 4887 km,
panjang 190 km, lebar 40km dan beriklim tropis. Pulau madura terbagi menjadi 4 kabupaten yaitu Bankalan,
Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Madura
dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya akan kebudayaan, selain itu
Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan
amat bernilai. Salah satu dari kebudayaan madura adalah To’ oto’.
To’
otok sama halnya seperti arisan. Akan tetapi di
Madura arisan ini diadakan oleh seseorang yang sedang ada hajat, dan
orang yang menyumbangkan arisannya itu akan menganggap orang yang
mengadakan arisan tersebut sedang berhutang pada orang-orang yang mengikuti
arisan tersebut.
Maka
dari itu Kita sebagai orang asli Madura harus mengenal dan melestarikan budaya
Madura yang masih hidup, bahkan yang akan dan telah punah. Pengenalan terhadap
berbagai macam kebudayaan Madura tersebut akan diharapkan mampu menggugah rasa
kebangsaan kita akan kesenian daerah.
A.
Rumusan
masalah
1. Kebudayaan
apa saja yang terdapat di Madura ?
2. Bagaimana
sejarah oto’ oto’ di Madura?
3. Bagaimana
pelaksanaan oto’oto’ di Madura?
B.
Pembahasan
Pulau
Madura yang terdiri dari empat kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan,
dan Sumenep, terletak di timur laut pulau jawa dengan koordinat sekitar 7
lintang selatan dan antara 112 dan 114 bujur timur. Panjang pulau Madura kurang
lebih 190 km, jarak terlebar 40 km, dan luas secara keseluruhan 5.304 meter.
Ketinggian paling rendah adalah daerah-daerah pantai baik dibagian barat,
utara, timur, dan, sedangkan ketinggian tertinggi menyebar di bagian tengah
pulau berupa pegunungan-pegunungan kecil. Pulau ini dikelilingi pulau-pulau
kecil yang jumlahnya lebih dari 100, baik yang berpenghuni maupun yang tidak.
Kebanyakan pulau-pulau kecil ini berada di bagian timur (De Jonge, 1989:5).
Walaupun
Madura dikenal dengan penduduknya yang kasar tanahnya yang tandus, tetapi tidak
sedikitpun mengurangi keindahan kebudayaan Madura. Pulau Madura memiliki
kebudayaan yang sangat beragam dan menarik, berikut akan kami paparkan
butir-butir kebudayaan yang ada di pulau Madura :
1. To’oto’
To’oto’ adalah sebuah tradisi pelaksanaan
walimah/pesta (perjamuan) bagi masyarakat Madura. Budaya ini sudah mendarah
daging dalam pelaksanaan walimah/pesta yang pelaksanaannya bertujuan untuk mempererat
silaturrahmi dan mengumpulkan uang. Tradisi ini hampir mirip dengan arisan,
tetapi biasanya hanya dilaksanakan khusus untuk pelakanaan walimah pernikahan.
2. Kerapan
sapi
Kerapan
sapi merupakan sebuah seni pertunjukan yang didalamnya terdapat kerapan sapi
serta topeng dalang. Kerapan sapi merupakan perlombaan memacu sapi. Kesenian
ini diperkenalkan pada abad ke-15 (1561 M) pada pemerintahan Pangeran Katandur
di daerah karaton Sumenep.
Kesenian dan
kebudayaan Madura ini diikuti oleh para petani.
Tujuannya untuk memberikan motivasi kepada petani agar tetap semangat untuk
bekerja dan dapat meningkatkan produksi ternak sapinya. Seiring dengan
berjalannya waktu, kerapan sapi ini sudah banyak disalahgunakan sehingga lebih
banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Contohnya seperti banyak diantara para
pemain dan penonton yang melupakan kewajibannya untuk melaksanakan shalat.
Kerapan sapi merupakan pemasok utam dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
karena kerapan sapi mampu menarik perhatian wisatawan asing berkunjung ke
Madura.
3. Tembang
macapat
Pada awalnya,
tembang atau nyanyian dalam kebudayaan Madura ini dipakai sebagai media untuk
memuji Allah Swt sebelum dilaksanakan shalat wajib. Macopat atau juga ada yang
menyebutnya dengan mamaca (menbaca), merupakan kebudayaan madura yang juga bisa
dikategorikan berbentuk kesenian. Tembang dilantunkan dengan syair-syair
tertentu, atau juga yang dikanal dengan istilah tembeng. Biasanya dalam
pembacaan macopat ini terkadang diringi dengan alunan musik, dan yang sering
dengan menggunakan seruling. Lambat laut tembang ini dipakai untuk mengajak
masyarakat Madura mencintai ilmu pengetahuan dan membenahi kerusakan moral yang
terjadi.
4. Musik
saronen
Musik ini
berasal dari desa Sendang, kecamatan Pragaan, kabupaten Sumenep. Jika di Madura
diadakan sebuah kesenian, musik saronen inilah yang mengiringinya. Musik
saronen merupakan perpaduan dari beberapa alat musik, tetapi yang paling
dominan adalah alat musik tiup berupa kerucut. Nah, alat musik tiup itulah yang
disebut dengan saronen.
5. Rokat
tase’
Tradisi ”
Rokat Tase’ ” dilakukan untuk mensyukuri karunia serta nikmat yang diberikan
oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Dan juga agar diberikan keselamatan
dan kelancaran rezeki dalam bekerja.Ritual atau tradisi tersebut, biasanya
dimulai dengan acara pembacaan istighotsah dan tahlil bersama oleh masyarakat
yang dipimpin oleh pemuka agama setempat.Setelah itu, masyarakat melepaskan
sesaji ke laut sebagai rasa ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun
isi dari sesaji itu adalah ketan-ketan yang berwarna-warni, tumpeng, ikan-ikan,
dan lain sebagainya. Ritual atau tradisi tersebut disebut ” Rokat Tase’ ” oleh
penduduk setempat.
6. Carok
Carok bisa dikategorikan menjadi dua, ada carok yang
spontans dan carok yang direncanakan. Kalau carok yang spontans, saat ini sulit
terjadi karena orang Madura sekarang jarang membawa senjata tajam (sikep).
Mereka pergi ke sawah dengan membawa senjata terkadang hanya untuk menjaga
diri, pada umumnya orang itu sudah memiliki musuh, Proses terjadinya carok, di
mulai dengan adanya perjanjian, pihak yang pertama biasanya memberi tahu pihak
yang kedua melalui orang lain untuk bertemu di tempat tertentu.
Di Madura, carok umumnya berkaitan
dengan masalah perempuan atau masalah irigasi, yaitu persoalan perairan di
sawah. Ketika ada air dari sungai besar dialirkan ke sawah yang lain atau
ditutup sehingga sawah yang jauh tidak kebagian air, sehingga terjadi
pertengkaran karena tanaman sawahnya terganggu. Di samping itu, Kebanyakan,
orang madura lebih percaya kepada pembicaraan orang lain, walaupun hanya kabar
angin. Seperti istrimu diselingkuhi, padahal tujuannya hanya untuk merusak,
motif –motif ini juga menjadi awal terjadinya carok.
BUDAYA
TO’ OTO’/REMO
Salah
satu budaya atau kebiasaan masyarakat Madura, khususnya di daerah Kabupaten
Bangkalan dan Sampang, yang saat ini masih berlangsung dan masih ada kaitannya
dengan carok, adalah menyelenggarakan semacam pesta yang di sebut remo atau to’
oto’. Pada dasarnya, remo dan to’ oto’ adalah sama. Perbedaanya hanya terletak
pada jenis hiburan yang disajikan serta jumlah tamu yang datang atau diundang.
Hiburan yang disajikan dalam remo adalah sandur Madura, yaitu jenis kesenian
tradisional semacam ludruk yang dimeriahkan oleh penari-penari (tanda’)
laki-laki dan diiringi oleh gamelan. Dengan adanya hiburan sandur ini, para
peserta remo dapat menunjukkan kapasitasnya sebagai orang blater ketika tiba
pada acara inti, yaitu menari dengan jenis tarian tertentu sesuai dengan
pilihannya.
Remo/to’oto’
pada prinsipnya merupakan suatu pesta tempat berkumpulnya para jago dan blater
dari seluruh desa di wilayah Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Penyelenggaraanya
mirip dengan arisan, yaitu setiap peserta yang hadir harus menyerahkan sejumlah
uang kepada penyelenggara. Sebaliknya, penyelenggara mempunyai kewajiban yang
sama kepada para tamunya jika mereka menyelenggarakan remo. Dengan demikian,
hubungan diantara peserta remo di landasi semangat resiprositas.
Karena
remo merupakan suatu pesta tempat berkumpulnya para jago dan blater dari seluruh
desa, seseorang yang dikenal sebagai orang jago akan merasa belum lengkap
predikat kejagoannya jika belum ikut menjadi anggota remo. Melalui media remo,
mereka dapat memperkenalkan kapasitas dirinya sekaligus akan memperoleh
pengakuan secara sosial dari khalayak yang lebih luas. Akan tetapi ada kalanya
seorang jago atau blater belum ikut remo terutama karena alasan ekonomi. Dalam
pembicaraan sehari-hari, orang yang menjadi anggota remo sering kali disebut “ablater”
(kata awalan a dalam bahasa madura menunjukkan pada kata kerja aktif). Ada juga
sementara orang yang menggunakan kata “abajhing” untuk menyebut hal yang sama.
Seorang
jago yang ikut menjadi anggota remo serta merta menjadi orang blater.
Sebaliknya, orang blater sudah pasti ikut remo, namun belum tentu sebagai
seorang jago. Status sebagai seorang jago atau blater ini bukanlah merupakan
status yang askripsi (ascribed status). Oleh karena itu, orang jago maupun
orang blater tidak harus dari lapisan sosial tertentu. Begitu seorang sudah
diakui sebagai orang jago atau blater, biasanya statusnya selalu diperlakukan
sebagai tokoh informal yang sangat disegani, bahkan ditakuti, dan serta merta
semua orang di lingkungannya menjadi pengikutnya. Jika seorang jago atau blater
kebetulan menjabat sebagai kepala desa maka seluruh penduduk desa akan tunduk
(dalam arti takut) kepadanya. Kewibawaan seorang jago selalu melebihi
kewibawaan pemimpin formal, katakanlah seorang camat. Salah satu contoh kasus
tentang figur orang seperti ini adalah Mat Roji, Kepala Desa Panaongan dalam
wilayah kabupaten Bangkalan. Pemilihan dirinya sebagai kepala desa tidak
terlepas dari kapasitasnya sebagai orang jago dan blater.
Menurut
pengakuan seorang camat yang membawahi Desa Panaongan, kapasitas diri Mat Roji
benar-benar mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keamanan desa serta
keberhasilan pelaksanaan program-program pembangunan desanya. Buktinya tidak
pernah sekalipun warga Desa Panaongan mengalami peristiwa pencurian. Selain
itu, dalam pelaksanaan pemungutan pajak (Pajak Bumi dan Bangunan) desa ini
tidak pernah menunggak, bahkan selalu menyetor lebih awal dari batas waktu yang
ditentukan.
Secara
ekonomi, remo merupakan suatu sarana pesertanya untuk dapat mengumpilkan uang
dalam jumlah yang relatif besar hanya dalam jangka satu malam. Semua itu sangat
tergantung pada jumlah uang bhubuwan yaitu
jumlah uang yang pernah diserahkan kepada anggota yang lain. Semakin besar
jumlah uang bhubuwan, maka semakin besar pula jumlah uang yang akan diterima
kembali. Ketika seorang peserta remo menyerahkan uang uang bhubuwan, orang
Madura menyebutnya mowang (membuang),
sedang ketika menerima kembali uang itu disebutnya ngaot (mengumpulkan). Dengan demikian, semakin banyak mowang,
semakin banyak pula ngaot. Peserta remo yang kebetulan sebagai tokoh (kepala
desa atau tetua desa) selalu mowang lebih banyak dari pada orang bukan tokoh
sehingga akan semakin banyak pula dia dapat mengumpulkan uang (ngaot).
Syarat
untuk dapat menjadi anggota remo yang terutama adalah mempunyai kemampuan
secara ekonomi dan bertanggung jawab. Persyaratan secara ekonomi yang berati kemampuan
mowang penting karena kontinuitas keanggotaan dalam remo sangat tergantung pada
kontinuitas abhubu (menghadiri remo
dengan menyerahkan sejumlah uang). Uang yang telah diserahkan pada prinsipnya
adalah “simpanan” yang baru dapat dinikmati jika kelak dia senditi
menyelenggarak remo. Oleh karena itu, setiap peserta remo harus betul-betul
memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam hal mengembalikan uang yang
pernah diterima dari peserta lain jika peserta ini pada suatu saat
menyelenggarakan remo pula.
Dalam
hal pengembalian uang, selain harus dilandasi oleh rasa tanggung jawab yang
besar, seorang peserta remo harus labih berhati-hati . Menurut aturan tidak
tertulis yang telah disepakati bersama, jaumlahnya harus lebih tinggi (daripada
yang pernah diterimanya) jika yang bersangkutan masih berkeinginan untuk tetap
terus menjadi peserta. Sebagai contoh ketika seorang penyelenggara remo
menerima uang dari seorang peserta sejumlah Rp. 100.000,00 maka uang yang harus
dikembalikan lebih besar daripada jumlah itu, misalnya Rp. 125.000,00.
Memberikan sejumlah uang yang melebihi uang yang pernah diterimanya disebut “ngompange”, sebaliknya ketika menerima
uang melebihi uang yang pernah diserahkan disebut “kaompangan”. Proses
pertukaran semacam ini pada dasarnya membuat setiap anggota remo terjerat utang
yang berkepanjangan satu sama lain. Sebab, jika hanya mengembalikan uang
sejumlah yang diterimanya, hal ini akan diartikan sebagai pertanda akan
mengakhiri keanggotaan remonya. Jikahal ini terjadi tanpa disertai alasan yang
jelas, maka semua peserta remo cenderung akan mencibirnya karena dianggap sudah
pelit dan tidak pantas lagi disebut sebagai blater. Bahkan, secara ekstrim akan
dianggap sudah mati.
Disetiap
desa biasanya terdapat seorang tokoh yang bertindak sebagai koodinator remo.
Seseorang yang ingin ikut menjadi peserta remo harus memberitahukan sekaligus
mendaftar kepadanya. Selama memenuhi kadua persyaratan, yaitu mampu secara
ekonomi dan mau bertanggung jawab untuk tidak lalai menghadiri remo (dalam arti
abhubu), setiap orang dapat menjadi anggota remo.
Dalam
acara to’ oto’ tidak terdapat pada
penyelenggaraan to’oto’, karena hiburan yang disajikan hanya barupa
tembang-tembang dan gending-gending Madura yang dikumandangkan melalui alat
perekam (tape recoder). Ada kalanya pihak penyelenggara to’oto’ sengaja
mendatangkan beberapa beberapa penyanyi lagu-lagu dangdut untuk menghibur para
tamu serta pengunjung dan mengajak mereka berkaraoke bersama. Dengan demikian,
dari jauh orang sudah dapat membedakan apakah ada penyelenggaraan remo atau
to’oto’.
Perbedaan
keduanya adalah jumlah tamu yang datang ke remo biasanya mencapai sampai
ratusan orang, karena mereka datang atau berasal dari hampir seluruh pelosok
kabupaten, bahkan tidak jarang dari luar kabupaten. Sebaliknya, jumlah tamu
to’oto’ biasanya hanya maencapai puluhan orang karena undangan disebar pada
lingkungan terbatas; dalam arti, hanya mencakup tetangga dekat atau kenalan
dekat. Semua tamu, baik pada penyelenggaraan remo maupun to’oto’ sebelumnya telah
tercatat sebagai anggota. Maksud dan tujuan penyelenggaraan to’oto tidak
berbeda dengan maksud dan tujuan remo, yaitu untuk “menyelamati badan
sekeluarga” atau “menyelamati badan sendiri”. Tujuan ini selalu dicantumkan
dibagian belakang kartu undangan, sedangkan dibagian depan tercantum nama
penyelenggara. Karena substansi antara remo dan to’oto’ tidak berbeda, meski
remo lebih populer di kalangan masyarakat.
Daftar pustaka
Wiyata Latief, 2002. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang
Madura. Yogyakarta:LkiS
http://jawatimuran.wordpress.com/2013/01/10/budaya-tooto-madura