KOMODIFIKASI
AGAMA DIBALIK CERAMAH UST. NUR MAULANA “ISLAM ITU INDAH ”
Oleh
: Nuri Amila
1005.311.00103
Abstrak
Komodifikasi agama dibalik ceramah
“Islam Itu Indah” ustad Maulana. Komodifikasi menurut Vincent Mosco digambarkan
sebagai cara kapitalisme dengan membawa akumulasi tujuan kapitalnya atau
mudahnya dapat digambarkan sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna
menjadi nilai tukar. Tujuan, untuk mengetahui bentuk komodifikasi dalam
tayangan ceramah “Islam Itu Indah” Transtv. Metode yang dipakai dalam analisis
ini yaitu teori McDonaldisasi
yang ditulis oleh George Ritzer. Empat kata-kata kunci dari teori McDonaldisasi
adalah efisien, kalkulabilitas, prediktabilitas, dan substitusi tenaga manusia
kepada teknologi. Hasil yang dicapai dalam analisis ini adalah memperoleh
ilmu dan data-data yang diperlukan oleh penulis dalam melakukan analisis guna
mengetahui bentuk dan mengapa terjadi komodifikasi dari tayangan ceramah “Islam
Itu Indah” ustad Maulana. Simpulan, Dalam komodifikasi agama melalui ceramah “Islam Itu Indah”,
agama hanya dilihat sebagai komoditas dalam sistem pasar. Definisi mutu ceramah
islam tidak lagi dirumuskan dari ukuran tema yang diangkat atau seberapa dalam
penceramah mendalami ilmu agama islam. Ukuran mutu diukur oleh parameter
industrial. Kaum kapitalisme mengambil ceramah islam sebagai sebuah sarana
untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya bukan karena sebagai kepentingan
publik semata.
A. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Perubahan sosial yang ditandai
dengan modernisasi membuat sekat didalam negara-negara menjadi tidak ada.
Masyarakat informasi demikian menurut Fukuyama cenderung memproduksi dua hal
yang dinilai masyarakat menjadi penting pada zaman ini. Kedua hal tersebut
adalah kebebasan dan persamaan. Menurut Fukuyama kebebasan dan persamaan telah
mengarahkan masyarakat untuk memilih terhadap apapun yang sesuai dengan
dirinya. Modernisasi menyediakan seperangkat alat yang mendukung sepenuhnya
terhadap keputusan itu seperti adanya internet, TV Kabel dan sebagainya. Perubahan yang mengisyaratkan sebuah nilai baru
yakni kebebasan dan persamaan ini ternyata berdampak pula terhadap kehidupan
spiritualitas seseorang. Perubahan tersebut dalam arti proses atau cara
memperoleh kebenaran beragama.
Pada umumnya, pengetahuan mengenai
agama diperoleh melalui dua jalan yakni melalui pendidikan formal dan informal.
Pendidikan formal diwakili oleh lembaga pendidikan agama seperti sekolah agama
( MI, MTS, MA, dan Universitas Islam) dan pondok pesantren. Sedangkan
pendidikan informal diwakili oleh ustaz maupun kyai di masjid-masjid maupun
oleh keluarga. Namun, dengan kehadiran media informasi terutama televisi
terjadi perubahan yang signifikan mengenai cara-cara masyarakat dalam
memperoleh pengetahuan agama (Islam). Gejala tersebut dapat dibaca dari
tayangan-tayangan yang sifatnya religius di beberapa stasiun televisi swasta.
Sebagai contoh adalah program “Islam Itu Indah” yang di siarkan oleh stasiun
televisi Transtv. Melalui tayangan ini, masyarakat bisa mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan agama yang hampir sama dengan yang diajarkan di lembaga
pendidikan islam maupun pesantren.
Tayangan-tayangan religi tersebut
setidaknya dapat memenuhi kebutuhan dua segmen sruktur masyarakat. Kedua segmen
masyarakat tersebut adalah masyarakat abangan yang haus akan pengetahuan agama
dan santri yang menginginkan tontonan religius. Bagi kaum abangan pilihan
tayangan religi merupakan pintu keluar dalam memperoleh pengetahuan agama. Kaum
abangan biasanya merasa malu kalau mendekati masjid. Alasan klasik yang biasa
terlontar dari kaum abangan adalah menganggap dirinya masih “kotor.” kalau
tiba-tiba masuk ke masjid untuk ibadah. Sedangkan kaum santri beralasan karena
tayangan-tayangan religius ini lebih mendidik daripada tayangan-tayangan yang
lain. Pilihan kaum santri terhadap tayangan ini juga berangkat dari sebuah
nilai bahwa Islam adalah agama yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Apabila
ingin menjadi muslim yang kaffah (menyeluruh/lengkap) maka
tayangan-tayangan televisi pun juga harus yang islami. Disisi lain, pilihan
tayangan ini juga merupakan bentuk ekspresi dari ketidaksepakatan terhadap
tayangan-tayangan yang beredar selama ini yang banyak menyuguhkan seksualitas,
kekerasan dan mimpi-mimpi.
Dalam konteks keagamaan, selain
ceramah keagamaan yang dikomoditaskan, ada satu lagi tayangan televisi yang
berusaha menjual simbol-simbol agama untuk kepentingan pasar. Tayangan tersebut
adalah sinema elektronik atau jamak disebut sinetron. Namun, apabila dicermati
lebih jauh tayangan-tayangan tersebut hanya memberikan imajinasi-imajinasi
relijius semata dan terkadang malah bertentangan dengan ajaran Islam yang
sebenarnya.
Gejala komodifikasi Islam yang
mewujud kedalam ceramah/dakwah islam tersebut, sebetulnya telah
berlangsung di Indonesia secara lebih intens setidaknya dalam dasawarsa
terakhir. Dan, komodifikasi tersebut bisa dipastikan selalu mencapai puncaknya
sepanjang bulan Ramadan. Gejala ini bisa dilihat di seluruh stasiun swasta.
Konsumsi ceramah ini sangat diminati terutama oleh ibu-ibu .
Beberapa stasiun televisi swasta
menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya untuk menayangkan
ceramah-ceramah islam. Stasiun televisi yang getol menayangkan ceramah-ceramah
tersebut diantaranya Indosiar (Mamah dan Aa’), Trans 7(Khazanah dan U2/Uje dan
Udin) dan ANTV (Wisata Hati, Chatting dengan YM, dan Hati ke Hati Bersama Mamah
Dedeh), RCTI (Assalamu Alaikum Ustad). Biasanya mereka menayangkan
program-progran ceramah yang telah dimodifikasi dan juga tayangan yang sifatnya
out door. Fenomena ceramah islam ini menarik untuk diamati karena disatu sisi
ceramah merupakan pintu masuk bagi penyebaran nilai-nilai agama, disisi lain
ternyata tangan-tangan kapitalisme melalui Production House (Rumah Produksi)
menggunakan kesempatan ini untuk memupuk keuntungan. Mereka hanya peduli terhadap
besar kecilnya rating dalam ceramah tersebut. Mengkomoditaskan suatu kebudayaan
yang sebetulnya bersifat positif.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Bagaimana
bentuk komodifikasi agama dalam tayangan ceramah dilihat dari perspektif
McDonaldisasi?
- Mengapa
terjadi komodifikasi agama malalui tayangan ceramah islam di televisi?
TUJUAN
1. Mendeskripsikan bentuk dan proses
komodifikasi agama melalui ceramah islam di televise dalam perspektif McDonaldisasi
- Untuk mengetahui penyebab dari
terjadinya fenomena komodifikasi-komodifikasi agama malalui cemah islam.
B. TEORI
Dalam menjalankan fungsi-fungsi ekonomi serta
politiknya, dengan kata lain media sebagai instansi ekonomi juga instansi
politik. Merujuk dari pendapat Mosco, ekonomi politik merupakan hubungan kekuasaan
(politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Namun demikian
bila dikaitkan dengan media, maka ada 3 konsep yang harus dipahami, yakni :
Komodifikasi, Spasialisasi dan Strukturisasi.
Kapitalisme adalah sebuah sistem
yang memproduksi komoditas-komoditas, dan secara natural penciptaan komoditas
adalah inti dari praktek ideologi kapitalisme. Kerangka kerja kapitalisme
memahami keinginan-keinginan dalam kerangka komoditas-komoditas yang diproduksi
berkaitan dengannya. Komoditas tersebut senantiasa menjadi pendukung utama dari
ide mengenai kapitalisme. Dalam logika kapitalisme, sesuatu yang dianggap
bernilai dan berharga tidak lebih komoditas yang diperdagangkan. Logika ini
tidak hanya menyentuh benda-benda ekonomi saja, namun juga menyusup kedalam
relasi-relasi social kehidupan manusia.
KOMODIFIKASI
Komodifikasi menurut perbendaharaan
kata dalam istilah marxis adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang
awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan menjadi hubungan yang
sifatnya komersil. Dalam artian bahwa hubungan sosial terreduksi menjadi
hubungan pertukaran. Komodifikasi juga merupakan istilah yang hanya ada dalam
konsep jual-beli di tahun 1977, namun mengekspresikan konsep fundamental atas
penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme terbangun.
Menurut Azra yang mengutip dari Greg
Fealy istilah komodifikasi berasal dari commodity, yang antara lain
berarti benda komersial atau objek perdagangan. Jadi, komodifikasi Islam adalah
komersialisasi Islam atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi
komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan. Selanjutnya
dalam analisis masyarakat konsumsi menurut Boulldriard masyarakat yang
terkomodifikasi adalah sebuah masyarakat dimana segala sesuatu mengalami
komodifikasi dalam artian segala sesuatunya berubah menjadi komoditas. Suatu
masyarakat dimana tidak ada sesuatupun yang tidak dapat dipertukarkan termasuk
di dalamnya hal-hal nonmaterial yang sebelumnya dianggap bukan untuk
diperjualbelikan seperti ilmu pengetahuan dan seni.
Selanjutnya Karl Marx dalam bukunya Communist
Manifesto, mendefinisikan komodifikasi sebagai “Callous Cash Payment”,
yakni “pembayaran tunai yang tidak berperasaan”. Ia menggambarkan bahwa kaum
kapitalis yang mempunyai kontrol atas apapun telah mengubah nilai-nilai
personal menjadi nilai tukar, mengubah hubungan sentimental dalam keluarga
menjadi hubungan yang mempergunakan uang. Sehingga segala sesuatu tidak akan
bernilai jika tidak mempunyai nilai tukar. Dalam analisis mengenai
hubungan agama dengan kapitalisme, maka kesimpulannya adalah agama hanya dilihat
sebagai sebuah komoditas. Kehadiran ceramah islam di televise merupakan komoditas yang berpotensi untuk
dieksploitasi.
Komodifikasi dalam tulisan ini akan dianalisis
dalam kerangka teori McDonaldisasi yang ditulis oleh George Ritzer. George
Ritzer menulis buku dengan judul “McDonaldization of Society: An Investigation
into the Changing Character of Contemporary Social Life” pada tahun 1995.
Isinya membahas kesuksesan McD dan pengaruhnya terhadap perubahan karakter dan
kehidupan sosial masa kini. Prinsip-prinsip kerja dalam restoran cepat saji
McDonald menjadi pijakan dalam tulisan ini.
Pada prinsipnya, dasar teoritisasi
dari perspektif McDonaldisasi bersumber pada pemikiran Max Weber mengenai
rasionalitas. Manusia modern menurut Weber adalah manusia yang menggunakan
rasio atau akalnya untuk bertindak. Akumulasi dari akal budi ini mewujud kepada
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar utama manusia dalam bertindak.
Rasionalitas ini juga membuka keran baru bagi lahirnya produksi pengetahuan
selain dari Gereja. Weber sendiri melihat birokrasi adalah wujud sempurna bagi
sebuah rasionalitas. Melalui birokrasi, manusia rasional menemukan
bentuk-bentuk ideal dalam membentuk realitas sosial. Tujuan akhir dari
birokrasi ini adalah membuat manusia lebih tertata, teratur dan sejahtera.
Namun pada akhirnya birokrasi-birokrasi yang diciptakan manusia tidak
menjadikan manusia menjadi sejahtera tetapi malah terkekang dan membuat manusia
menjadi sengsara hidupnya.
Menurut Hokheimer dalam menghadapi
dan mengupayakan untuk menjadi rasional ini, ternyata manusia mengalami
kegagalan dalam usahanya. Makin manusia membebaskan diri dari akal budi
obyektifnya maka makin melulu akal budi manusia menjadi instrumentalis. Makin
manusia berusaha membebaskan diri dari alamnya maka semakin keras pula alam
menindasnya. Kemudian makin manusia menemukan identitasnya maka makin kuat pula
manusia menghancurkan identitasnya. Rasionalitas sendiri dapat diterjemahkan
sebagai modernisme. Suatu masyarakat yang mendasarkan diri pada ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai alat atau instrument utama. Basisnya adalah
rasio atau akal.
Selanjutnya, Ritzer meminjam
analisis Weber mengenai rasionalitas ke dalam teori McDonaldisasinya. Empat
kata-kata kunci dari teori McDonaldisasi adalah efisien, kalkulabilitas,
prediktabilitas, dan substitusi tenaga manusia kepada teknologi.
Efisiensi digambarkan Ritzer yaitu
dengan memberikan pelayanan yang cepat dengan sedikit upaya yang harus
dilakukan oleh konsumen. McDonaldisasi menerapkan juga prinsip kalkulabilitas,
alias aspek kepastian terukur tentang kuantitas produk yang diperoleh. Semua
orang tahu, berapa kocek yang harus dirogoh kalau ingin makan dua potong
burger, termasuk besar rotinya. Atau, jika ingin makan yang lebih besar, orang
pasti memesan BigMac, bukan yang medium. Logika ini menawarkan kuantitas
daripada kualitas.
Unsur lainnya adalah
prediktabilitas. Dalam hal ini, semua orang tahu persis, bahwa produk dan jasa
yang mereka beli akan sama di mana pun mereka cari di dunia. Rasa French fries
alias kentang goreng di Surabaya tak ada bedanya dengan yang di Los Angels.
Demikian juga dengan sistem kerja mereka sudah dapat diprediksi, berapa lama
waktu untuk masak, umpamanya. Sedangkan unsur terakhir adalah kontrol ketat
lewat substitusi tenaga manusia kepada teknologi. Jalur produksi yang sudah
ditetapkan atau menu yang sudah diatur sehingga orang hanya bisa memesan sesuai
menu yang ditetapkan, merupakan contoh dari betapa terkendalinya kegiatan usaha
tersebut. Termasuk tentang perilaku dan kerja pegawainya juga distandarisasi.
Orang bekerja tidak perlu berpendidikan tinggi, karena orang yang hanya lulus
SD pun bisa bekerja karena hanya membutuhkan kehlian membaca
instrumen-instrumen dan pengarahan-pengarahan. Di sini manusia diposisikkan
layaknya robot yang bekerja tanpa emosi.
PEMBAHASAN
§ SINOPSIS
Kata-kata ini pasti tidak asing lagi di telinga kita
"Jama aa ah... E eeh... Oh, Jamaah.. Eeeh... Alhamdu.. lillah.."
Itulah kata-kata yang sering kita dengar dari Ust M. Nur Maulana di acara Islam
Itu Indah Trans TV. Acara ini tayang setiap hari setelah shalat subuh jam
05.30, metode yang dipakai di acara Islam Itu Indah menggunakan metode
tanya-jawab/diskusi, pembawaan Ustad Maulana yang kocak dengan cara
berbicara yang khas. Topik yang dihadirkan setiap episodenya merupakan topik
yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kemudian diakhir acara
ada sesi renungan bersama yang disertai dengan doa bersama.
§ TEMUAN
DATA
Komodifikasi Islam menjadikan Islam
sebagai sebuah komoditas, apalagi komersialisasi Islam boleh jadi membuat
banyak kalangan umat Islam mengerutkan dahinya. Secara tradisional, banyak
ulama menyatakan, agama tidak boleh dijadikan barang dagang untuk mendapat
keuntungan dari penjualan dan perdagangan simbol-simbol agama. Bahkan, para
ulama, ustadz, dan mubalig diharapkan tidak mendapatkan nafkah dari kegiatannya
berdakwah. Komodifikasi Islam boleh jadi membuat kehidupan keislaman kelihatan
penuh syiar dan kemeriahan. Tetapi juga, bisa membuatnya menjadi dangkal karena
bergerak sesuai dengan kemauan pasar. Jika yang terakhir ini yang terjadi,
semarak keagamaan niscayalah dapat kian kehilangan maknanya
Dari tayangan ceramah islam itu indah tersebut
sangat jelas sekali terlihat beberapa aspek yang mengandung komodifikasi. Aspek
yang pertama adalah penceramah dari tayangan tersebut adalah Ustad Nur Maulana
yang sering disapa ustad Maulana, kenapa harus ustad Maulana yang memimpin
acara tersebut padahal masih banyak ustad-ustad lain yang lebih mendalami ilmu
agama seperti kiayi-kiayi di pesantren yang ilmu alamanya sudah tidak di
ragukan lagi. Hal ini di karenakan ustad Maulana memiliki nilai jual ketimbang
para kiayi-kiayi di pesantren.
Ustad Maulana mempunyai penampilan yang bisa
dikatakan lebih modern ketimbang para kiayi yang hanya memakai sarung, baju
taqwa dan kopyah. Selain itu ustad Maulana memiliki cara bicara yang kocak dan
juga khas bahkan dalam setiap ceramahnya dia menambahkan sedikit humor agar
audiens tidak bosan. Cara bicara yang seperti itulah yang menjadi nilai jual
dari sosok ustad Maulana meski sebagian orang mengatakan bahwa gaya bicara yang
khas itu mirip dengan gaya bicara seorang banci.
Bentuk komodifikasi yang kedua dari tayangan ceramah
tersebut adalah dalam setiap tayangan selalu mengundang artis pria dan wanita
sehingga bisa menarik perhatian audiens, artis yang di undang biasanya sesuai
dengan tema yang diangkat pada ceramah yang akan disampaikan seperti jika tema
ceramahnya “Pikun” maka artis yang di undang adalah para artis senior dan jika
ceramahnya tentang “pergaulan” maka artis yang diundang adalah artis-artis
muda. Selain itu di penghujung acara biasanya ustad Maulana menggelar doa
bersama dengan di iringi instrumen-instrumen tertentu, pada saat berdoa itulah
ustad Maulana mencari seseorang yang menangis di tengah doa yang dibacakan oleh
beliau, syukur-syukur jika yang menangis adalah artis yang di undang karena
dengan begitu perhatian akan secara langsung berpihak padanya dan otomatis itulah
yang akan menaikkan rating acara tersebut.
Dalam setiap episode ceramah “islam itu indah” ini
juga tidak menetap di tempat itu-itu saja, acara tersebut biasanya juga mendatangi
lembaga-lembaga tertentu. Seperti halnya panti asuhan dan lembaga pendidikan
(sekolah) juga menjadi tempat yang menjadi favorit tayangan tersebut karena
dengan begitu masyarakat akan semakin menyukai ustad Maulana dan dianggap
mempunyai sikap sosial yang baik efeknya masyarakat akan semakin menyukai
tayangan ceramah tersebut.
§ ANALISIS
DATA
Keberhasilan program dari tayangan
televisi biasanya ditentukan oleh rating yang ditentukan oleh lembaga
independen. Tayangan dikatakan baik, apabila menduduki rating tinggi dalam
penilaian surveinya. Survey tentang rating juga sekaligus menjadi bahan
pertimbangan untuk meneruskan atau menghentikan program-program siaran
televisi.
Tayangan
televisi seperti tayangan ceramah “Islam Itu Indah”
yang di bawakan oleh seorang Ustad bernama Nur Maulana merupakan bagian kecil dari sebuah
system media massa di masyarakat kapitalistik.
Tayangan ini tidak serta merta karena kepentingan masyarakat yang haus akan
ilmu agama, kebutuhan
pengetahuan agama Islam yang diinginkan oleh kaum santri dan abangan ditangkap
oleh system media kapitalistik sebagai lahan emas untuk proses akumulasi
capital.
Perspektif McDonaldisasi memandang
komodifikasi ceramah islam ini kedalam empat aspek yakni efisiensi, kalkulabilitas,
prediktabilitas, dan kontrol melalui teknologi nonmanusia. Dalam analisis
efisiensi, ceramah islam diatas menerapkan pola penggarapan yang serba cepat
mulai dari syuting, editing, mixing, sampai finishing semua
dikerjakan serba instan dengan tema yang akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Tayangan ceramah islam membuat orang tidak perlu ke masjid atau lembaga-lembaga
dakwah tertentu untuk mendengarkan ceramah dari ustad atau kiayi. Bisa
dibayangkan repotnya kalau hanya ingin mendengar ceramah harus selalu pergi
dari rumah. Kita hanya perlu duduk didepan televisi untuk dapat melihat
tayangan televisi yang dapat juga menambah khasanah pengetahuan agama. Orang
juga tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku-buku religius
karena buku-buku tersebut telah diterjemahkan dalam bentuk ceramah islam di
televisi. Tayangan ceramah juga tidak memerlukan waktu yang lama dan di bungkus
secara apik jadi audiens tidak akan bosan mendengarkan.
Analisis kalkulabilitas menempatkan
kuantitas diatas kualitas. Pada fenomena tayangan ceramah islam dapat dibaca
dari fenomena banyaknya jumlah ceramah-ceramah yang beredar pada
stasiun-stasiun televisi. Padahal apabila dicermati lebih jauh, mayoritas rumah
produksinya adalah sama. Pada bulan Ramadan tayangan-tayangan dalam bentuk
ceramah islam mengambil frekuensi tayang yang sering, biasanya tayangan
ceramah-ceramah tayang waktu sahur dan menjelang buka puasa. Pendengar terjebak
pada strategi yang dibuat oleh pengelola stasiun untuk membuat mereka menjadi
lebih tahan didepan televisi. Caranya adalah menyela dengan iklan apabila artis
yang di undang sedang menceritakan pengalaman yang berkaitan dengan tema yang
diangkat pada episode tersebut. Strategi ini berfungsi untuk membuat orang
menjadi penasaran sehingga tidak beranjak dari tempat duduknya.
Tayangan cerah “islam itu indah”
mendasarkan tolak ukur audience rating (tingkat ketertontonan acara
televise) dalam pola-pola kerjanya. Audience rating ini juga untuk
melihat banyaknya iklan yang terserap ke dalam tayangan ceramah. Pola ini
menghasilkan output kerja tidak seimbang dimana bertahan atau tidaknya
sebuah tayangan ceramah islam bergantung pada sedikit atau banyaknya iklan yang
diperoleh bukan pada kualitas yang sesungguhnya. Selain audience rating,
ceramah islam juga menggunakan audience share yakni presentase dari
jumlah rumah yang menggunakan televisi yang menyetel channel tertentu.
Angka ini ditentukan dengan membagi jumlah orang yang menyetel channel tertentu
dengan jumlah rumah yang menggunakan televisi.
Audience rating ini merupakan satu
kekuatan yang hegemonik yang mengatur dan menentukan strategi telivisi dalam
menayangkan tayangan ceramah islam. Pemikiran ini hanya memikirkan banyaknya
jumlah episode ceramah dan bagaimana ceramah tersebut bertahan.
Dalam analisis prediktabilitas atau
keseragaman tayangan ceramah memproduksi tayangan yang sama. Ceramah yang kita
lihat dari Jakarta akan sama apabila dilihat dari Surabaya. Tidak ada perbedaan
sepanjang ceramah yang dilihat tema dan rumah produksinya sama. Ceramah-ceramah
islam selalu memproduksi tema-tema yang sama yakni tema mengenai agama.
Tema-tema yang diangkat biasanya seputar ajaran kebaikan, kateladanan dan
bercerita mengenai sesuatu yang terpuji. Disamping itu nuansa simbol-simbol
agama seperti jilbab, baju koko, peci, ustad, mengaji pasti selalu ada dalam
setiap tayangan. Produksi keseragaman dilakukan untuk melembagakan tayangan
ceramah islam. Mau dilihat atau ditonton dilokasi manapun tema maupun
simbol-simbol yang dimunculkan akan sama dan seragam.
Artis-artis yang di undang dalam
ceramah ustad Maulana ini juga mengandalkan artis-artis yang lagi naik daun
artinya dalam logika kapitalis bintang yang top akan memberikan ketertarikan
terhadap pemirsa. Dengan banyaknya pemirsa yang menonton, maka audience
share nya juga akan tinggi. Dengan demikian situasi ini akan melahirkan
iklan-iklan yang terdorong untuk masuk menjadi sponsor. Keuntungan buat rumah
produksi, pemilik stasiun TV dan pengiklan tentunya.
Definisi mutu ceramah islam tidak
lagi dirumuskan dari ukuran tema yang diangkat atau seberapa dalam penceramah
mendalami ilmu agama islam. Ukuran mutu diukur oleh parameter industrial.
Penilaian ini mengisyaratkan terjadinya kesesuaian antara supply produk
dan jasa dengan harapan konsumen yang diukur dengan audience rating.
Sebuah analisis kontrol melalui
teknologi nonmanusia ditunjukkan dengan bekerjanya kamera-kamera, lighting,
efek visual, tata suara dan lainnya. Dalam hal ini manusia hanya berfungsi
sebagai pengoperasi saja dari alat-alat dengan basis teknologi tersebut.
Otoritas manusia terbatasi pada kemampuan mereka dalam mengoperasikan
teknologi-teknologi tersebut.
Komodifikasi ceramah “islam itu
indah” ustad Maulana ini termasuk dalam kategori komodifikasi komplikasi antara
komodifikasi konten atau isi media komunikasi dengan komodifikasi audiens.
Selain karena konten/isi media dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar
menjadi kesukaan publik meski hal itu kebutuhan public yang dikomodifikasikan,
pengesahan segala cara dilakukan demi mendapat perhatian audiens yang tinggi
juga karena audiens dijadikan komoditi para media untuk mendapatkan iklan dan
pemasukan. Kasarnya media ,enjual rating atau share kepadda advertiser untuk
dapat menggunakan air time atau waktu tayang.
Media massa telah menjadi wahana
peiklanan utama yang menghubungkan produsen dengan konsumennya. Media massa
juda telah menjadi mediator penting antara Negara denan rakyatnya. Sehingga
jelas sudah bahwa media memang tidak hanya menjalankan fungsi sosial namun juga
fungsi ekonomis dan bahkan politik ideologis.
Persaingan dan berbagai upaya yang
muaranya pada perolehan profit sebesar-besarnya menjadi tidak terelakkan.
Disinilah idealisme media yang semula menjadi pelayanan publik, yang
merefleksikan realitas yang ada di masyarakat menjadi bias. Produk media
kemudian bermetamorfosis menjadi tidak lebih dari sebuah komoditas yang
perhitungannya hanya diukur dari seberapa besar uang atau keuntungan yang bisa
dihasilkan, seperti halnya tayangan ceramah “Islam Itu Indah” yang tidak hanya ditayangkan karena merupakan
kepentingan publik melainkan juga untuk mendapatkan keuntungan. Disinilah
komodifikasi berlangsung, mengubah nilai guna menjadi nilai tukar dalam
perspektif ekonomi politik media.
C. KESIMPULAN
DAN SARAN
Dalam komodifikasi agama melalui
ceramah “Islam Itu Indah”, agama hanya dilihat sebagai komoditas dalam sistem
pasar. Definisi mutu ceramah islam tidak lagi dirumuskan dari ukuran tema yang
diangkat atau seberapa dalam penceramah mendalami ilmu agama islam. Ukuran mutu
diukur oleh parameter industrial. Kaum kapitalisme mengambil ceramah islam
sebagai sebuah sarana untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Pendidikan
keagamaan yang tertanam didalam tema-tema yang diangkat hanyalah sebuah
kamuflase untuk menarik pasar. Apabila pasar menyukai ceramah tersebut maka
eksistensi ceramah islam akan terus berkembang, namun sebaliknya apabila
masyarakat sudah mulai jenuh dengan tayangan ceramah tersebut maka ceramah
tersebut dengan sendirinya akan lenyap seperti halnya ceramah yang dipimpin
ustad Aa Gym. Disinilah arti penting dari sebuah audience rating. Secara tidak langsung masyarakat telah
dihegemoni oleh media, maka dari itu diharapkan masyarakat lebih memilah dan
mamilih lagi mana tayangan yang bermanfaat dan mana tayangan yang kurang
bermanfaat. Dan untuk awak media setidaknya lebih memfokuskan tayangan yang
menjadi kebutuhan dan lebih bermanfaat bagi masyarakat karakter suatu bangsa
bisa dinilai dari tayangan-tayangan di media tang ada.
D. DAFTAR
PUSTAKA
Fukuyama , Francis. 2007. The Great Disruptions: Hakikat
Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial. Jakarta: Penerbit Qalam
Ritzer, George. 2002. Ketika Kapitalisme
Berjingkrang: Telaah Kritis Terhadap Gelombang McDonaldisasi Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Mosco, Vincent 2ed. The
Political Economy of Communication
Website