Minggu, 30 Desember 2012

Komodifikasi Agama


KOMODIFIKASI AGAMA DIBALIK CERAMAH UST. NUR MAULANA “ISLAM ITU INDAH ”
Oleh : Nuri Amila
1005.311.00103
Abstrak
Komodifikasi agama dibalik ceramah “Islam Itu Indah” ustad Maulana. Komodifikasi menurut Vincent Mosco digambarkan sebagai cara kapitalisme dengan membawa akumulasi tujuan kapitalnya atau mudahnya dapat digambarkan sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna menjadi nilai tukar. Tujuan, untuk mengetahui bentuk komodifikasi dalam tayangan ceramah “Islam Itu Indah” Transtv. Metode yang dipakai dalam analisis ini yaitu teori McDonaldisasi yang ditulis oleh George Ritzer. Empat kata-kata kunci dari teori McDonaldisasi adalah efisien, kalkulabilitas, prediktabilitas, dan substitusi tenaga manusia kepada teknologi. Hasil yang dicapai dalam analisis ini adalah memperoleh ilmu dan data-data yang diperlukan oleh penulis dalam melakukan analisis guna mengetahui bentuk dan mengapa terjadi komodifikasi dari tayangan ceramah “Islam Itu Indah” ustad Maulana. Simpulan, Dalam komodifikasi agama melalui ceramah “Islam Itu Indah”, agama hanya dilihat sebagai komoditas dalam sistem pasar. Definisi mutu ceramah islam tidak lagi dirumuskan dari ukuran tema yang diangkat atau seberapa dalam penceramah mendalami ilmu agama islam. Ukuran mutu diukur oleh parameter industrial. Kaum kapitalisme mengambil ceramah islam sebagai sebuah sarana untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya bukan karena sebagai kepentingan publik semata.

A.    PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Perubahan sosial yang ditandai dengan modernisasi membuat sekat didalam negara-negara menjadi tidak ada. Masyarakat informasi demikian menurut Fukuyama cenderung memproduksi dua hal yang dinilai masyarakat menjadi penting pada zaman ini. Kedua hal tersebut adalah kebebasan dan persamaan. Menurut Fukuyama kebebasan dan persamaan telah mengarahkan masyarakat untuk memilih terhadap apapun yang sesuai dengan dirinya. Modernisasi menyediakan seperangkat alat yang mendukung sepenuhnya terhadap keputusan itu seperti adanya internet, TV Kabel dan sebagainya. Perubahan yang mengisyaratkan sebuah nilai baru yakni kebebasan dan persamaan ini ternyata berdampak pula terhadap kehidupan spiritualitas seseorang. Perubahan tersebut dalam arti proses atau cara memperoleh kebenaran beragama.
Pada umumnya, pengetahuan mengenai agama diperoleh melalui dua jalan yakni melalui pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal diwakili oleh lembaga pendidikan agama seperti sekolah agama ( MI, MTS, MA, dan Universitas Islam) dan pondok pesantren. Sedangkan pendidikan informal diwakili oleh ustaz maupun kyai di masjid-masjid maupun oleh keluarga. Namun, dengan kehadiran media informasi terutama televisi terjadi perubahan yang signifikan mengenai cara-cara masyarakat dalam memperoleh pengetahuan agama (Islam). Gejala tersebut dapat dibaca dari tayangan-tayangan yang sifatnya religius di beberapa stasiun televisi swasta. Sebagai contoh adalah program “Islam Itu Indah” yang di siarkan oleh stasiun televisi Transtv. Melalui tayangan ini, masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan-pengetahuan agama yang hampir sama dengan yang diajarkan di lembaga pendidikan islam maupun pesantren.
Tayangan-tayangan religi tersebut setidaknya dapat memenuhi kebutuhan dua segmen sruktur masyarakat. Kedua segmen masyarakat tersebut adalah masyarakat abangan yang haus akan pengetahuan agama dan santri yang menginginkan tontonan religius. Bagi kaum abangan pilihan tayangan religi merupakan pintu keluar dalam memperoleh pengetahuan agama. Kaum abangan biasanya merasa malu kalau mendekati masjid. Alasan klasik yang biasa terlontar dari kaum abangan adalah menganggap dirinya masih “kotor.” kalau tiba-tiba masuk ke masjid untuk ibadah. Sedangkan kaum santri beralasan karena tayangan-tayangan religius ini lebih mendidik daripada tayangan-tayangan yang lain. Pilihan kaum santri terhadap tayangan ini juga berangkat dari sebuah nilai bahwa Islam adalah agama yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Apabila ingin menjadi muslim yang kaffah (menyeluruh/lengkap) maka tayangan-tayangan televisi pun juga harus yang islami. Disisi lain, pilihan tayangan ini juga merupakan bentuk ekspresi dari ketidaksepakatan terhadap tayangan-tayangan yang beredar selama ini yang banyak menyuguhkan seksualitas, kekerasan dan mimpi-mimpi.
Dalam konteks keagamaan, selain ceramah keagamaan yang dikomoditaskan, ada satu lagi tayangan televisi yang berusaha menjual simbol-simbol agama untuk kepentingan pasar. Tayangan tersebut adalah sinema elektronik atau jamak disebut sinetron. Namun, apabila dicermati lebih jauh tayangan-tayangan tersebut hanya memberikan imajinasi-imajinasi relijius semata dan terkadang malah bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Gejala komodifikasi Islam yang mewujud kedalam ceramah/dakwah islam tersebut, sebetulnya  telah berlangsung di Indonesia secara lebih intens setidaknya dalam dasawarsa terakhir. Dan, komodifikasi tersebut bisa dipastikan selalu mencapai puncaknya sepanjang bulan Ramadan. Gejala ini bisa dilihat di seluruh stasiun swasta. Konsumsi ceramah ini sangat diminati terutama oleh ibu-ibu .
Beberapa stasiun televisi swasta menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya untuk menayangkan ceramah-ceramah islam. Stasiun televisi yang getol menayangkan ceramah-ceramah tersebut diantaranya Indosiar (Mamah dan Aa’), Trans 7(Khazanah dan U2/Uje dan Udin) dan ANTV (Wisata Hati, Chatting dengan YM, dan Hati ke Hati Bersama Mamah Dedeh), RCTI (Assalamu Alaikum Ustad). Biasanya mereka menayangkan program-progran ceramah yang telah dimodifikasi dan juga tayangan yang sifatnya out door. Fenomena ceramah islam ini  menarik untuk diamati karena disatu sisi ceramah merupakan pintu masuk bagi penyebaran nilai-nilai agama, disisi lain ternyata tangan-tangan kapitalisme melalui Production House (Rumah Produksi) menggunakan kesempatan ini untuk memupuk keuntungan. Mereka hanya peduli terhadap besar kecilnya rating dalam ceramah tersebut. Mengkomoditaskan suatu kebudayaan yang sebetulnya bersifat positif.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
  1. Bagaimana bentuk komodifikasi agama dalam tayangan ceramah dilihat dari perspektif McDonaldisasi?
  2. Mengapa terjadi komodifikasi agama malalui tayangan ceramah islam di televisi?

TUJUAN
1.      Mendeskripsikan bentuk dan proses komodifikasi agama melalui ceramah islam di televise  dalam perspektif McDonaldisasi
  1. Untuk mengetahui penyebab dari terjadinya fenomena komodifikasi-komodifikasi agama malalui cemah islam.
B.     TEORI
Dalam menjalankan fungsi-fungsi ekonomi serta politiknya, dengan kata lain media sebagai instansi ekonomi juga instansi politik. Merujuk dari pendapat Mosco, ekonomi politik merupakan hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Namun demikian bila dikaitkan dengan media, maka ada 3 konsep yang harus dipahami, yakni : Komodifikasi, Spasialisasi dan Strukturisasi.
Kapitalisme adalah sebuah sistem yang memproduksi komoditas-komoditas, dan secara natural penciptaan komoditas adalah inti dari praktek ideologi kapitalisme. Kerangka kerja kapitalisme memahami keinginan-keinginan dalam kerangka komoditas-komoditas yang diproduksi berkaitan dengannya. Komoditas tersebut senantiasa menjadi pendukung utama dari ide mengenai kapitalisme. Dalam logika kapitalisme, sesuatu yang dianggap bernilai dan berharga tidak lebih komoditas yang diperdagangkan. Logika ini tidak hanya menyentuh benda-benda ekonomi saja, namun juga menyusup kedalam relasi-relasi social kehidupan manusia.
KOMODIFIKASI
Komodifikasi menurut perbendaharaan kata dalam istilah marxis adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan menjadi hubungan yang sifatnya komersil. Dalam artian bahwa hubungan sosial terreduksi menjadi hubungan pertukaran. Komodifikasi juga merupakan istilah yang hanya ada dalam konsep jual-beli di tahun 1977, namun mengekspresikan konsep fundamental atas penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme terbangun.
Menurut Azra yang mengutip dari Greg Fealy istilah komodifikasi berasal dari commodity, yang antara lain berarti benda komersial atau objek perdagangan. Jadi, komodifikasi Islam adalah komersialisasi Islam atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan. Selanjutnya dalam analisis masyarakat konsumsi menurut Boulldriard masyarakat yang terkomodifikasi adalah sebuah masyarakat dimana segala sesuatu mengalami komodifikasi dalam artian segala sesuatunya berubah menjadi komoditas. Suatu masyarakat dimana tidak ada sesuatupun yang tidak dapat dipertukarkan termasuk di dalamnya hal-hal nonmaterial yang sebelumnya dianggap bukan untuk diperjualbelikan seperti ilmu pengetahuan dan seni.
Selanjutnya Karl Marx dalam bukunya Communist Manifesto, mendefinisikan komodifikasi sebagai “Callous Cash Payment”, yakni “pembayaran tunai yang tidak berperasaan”. Ia menggambarkan bahwa kaum kapitalis yang mempunyai kontrol atas apapun telah mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar, mengubah hubungan sentimental dalam keluarga menjadi hubungan yang mempergunakan uang. Sehingga segala sesuatu tidak akan bernilai jika tidak mempunyai nilai tukar. Dalam analisis mengenai hubungan agama dengan kapitalisme, maka kesimpulannya adalah agama hanya dilihat sebagai sebuah komoditas. Kehadiran ceramah islam di televise  merupakan komoditas yang berpotensi untuk dieksploitasi.
 Komodifikasi dalam tulisan ini akan dianalisis dalam kerangka teori McDonaldisasi yang ditulis oleh George Ritzer. George Ritzer menulis buku dengan judul “McDonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life” pada tahun 1995. Isinya membahas kesuksesan McD dan pengaruhnya terhadap perubahan karakter dan kehidupan sosial masa kini. Prinsip-prinsip kerja dalam restoran cepat saji McDonald menjadi pijakan dalam tulisan ini.
Pada prinsipnya, dasar teoritisasi dari perspektif McDonaldisasi bersumber pada pemikiran Max Weber mengenai rasionalitas. Manusia modern menurut Weber adalah manusia yang menggunakan rasio atau akalnya untuk bertindak. Akumulasi dari akal budi ini mewujud kepada ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar utama manusia dalam bertindak. Rasionalitas ini juga membuka keran baru bagi lahirnya produksi pengetahuan selain dari Gereja. Weber sendiri melihat birokrasi adalah wujud sempurna bagi sebuah rasionalitas. Melalui birokrasi, manusia rasional menemukan bentuk-bentuk ideal dalam membentuk realitas sosial. Tujuan akhir dari birokrasi ini adalah membuat manusia lebih tertata, teratur dan sejahtera. Namun pada akhirnya birokrasi-birokrasi yang diciptakan manusia tidak menjadikan manusia menjadi sejahtera tetapi malah terkekang dan membuat manusia menjadi sengsara hidupnya.
Menurut Hokheimer dalam menghadapi dan mengupayakan untuk menjadi rasional ini, ternyata manusia mengalami kegagalan dalam usahanya. Makin manusia membebaskan diri dari akal budi obyektifnya maka makin melulu akal budi manusia menjadi instrumentalis. Makin manusia berusaha membebaskan diri dari alamnya maka semakin keras pula alam menindasnya. Kemudian makin manusia menemukan identitasnya maka makin kuat pula manusia menghancurkan identitasnya. Rasionalitas sendiri dapat diterjemahkan sebagai modernisme. Suatu masyarakat yang mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat atau instrument utama. Basisnya adalah rasio atau akal.
Selanjutnya, Ritzer meminjam analisis Weber mengenai rasionalitas ke dalam teori McDonaldisasinya. Empat kata-kata kunci dari teori McDonaldisasi adalah efisien, kalkulabilitas, prediktabilitas, dan substitusi tenaga manusia kepada teknologi.
Efisiensi digambarkan Ritzer yaitu dengan memberikan pelayanan yang cepat dengan sedikit upaya yang harus dilakukan oleh konsumen. McDonaldisasi menerapkan juga prinsip kalkulabilitas, alias aspek kepastian terukur tentang kuantitas produk yang diperoleh. Semua orang tahu, berapa kocek yang harus dirogoh kalau ingin makan dua potong burger, termasuk besar rotinya. Atau, jika ingin makan yang lebih besar, orang pasti memesan BigMac, bukan yang medium. Logika ini menawarkan kuantitas daripada kualitas.
Unsur lainnya adalah prediktabilitas. Dalam hal ini, semua orang tahu persis, bahwa produk dan jasa yang mereka beli akan sama di mana pun mereka cari di dunia. Rasa French fries alias kentang goreng di Surabaya tak ada bedanya dengan yang di Los Angels. Demikian juga dengan sistem kerja mereka sudah dapat diprediksi, berapa lama waktu untuk masak, umpamanya. Sedangkan unsur terakhir adalah kontrol ketat lewat substitusi tenaga manusia kepada teknologi. Jalur produksi yang sudah ditetapkan atau menu yang sudah diatur sehingga orang hanya bisa memesan sesuai menu yang ditetapkan, merupakan contoh dari betapa terkendalinya kegiatan usaha tersebut. Termasuk tentang perilaku dan kerja pegawainya juga distandarisasi. Orang bekerja tidak perlu berpendidikan tinggi, karena orang yang hanya lulus SD pun bisa bekerja karena hanya membutuhkan kehlian membaca instrumen-instrumen dan pengarahan-pengarahan. Di sini manusia diposisikkan layaknya robot yang bekerja tanpa emosi.
PEMBAHASAN

§  SINOPSIS
Kata-kata ini pasti tidak asing lagi di telinga kita "Jama aa ah... E eeh... Oh, Jamaah.. Eeeh... Alhamdu.. lillah.." Itulah kata-kata yang sering kita dengar dari Ust M. Nur Maulana di acara Islam Itu Indah Trans TV. Acara ini tayang setiap hari setelah shalat subuh jam 05.30, metode yang dipakai di acara Islam Itu Indah menggunakan metode tanya-jawab/diskusi, pembawaan  Ustad Maulana yang kocak dengan cara berbicara yang khas. Topik yang dihadirkan setiap episodenya merupakan topik yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kemudian diakhir acara ada sesi renungan bersama yang disertai dengan doa bersama.

§  TEMUAN DATA
Komodifikasi Islam menjadikan Islam sebagai sebuah komoditas, apalagi komersialisasi Islam boleh jadi membuat banyak kalangan umat Islam mengerutkan dahinya. Secara tradisional, banyak ulama menyatakan, agama tidak boleh dijadikan barang dagang untuk mendapat keuntungan dari penjualan dan perdagangan simbol-simbol agama. Bahkan, para ulama, ustadz, dan mubalig diharapkan tidak mendapatkan nafkah dari kegiatannya berdakwah. Komodifikasi Islam boleh jadi membuat kehidupan keislaman kelihatan penuh syiar dan kemeriahan. Tetapi juga, bisa membuatnya menjadi dangkal karena bergerak sesuai dengan kemauan pasar. Jika yang terakhir ini yang terjadi, semarak keagamaan niscayalah dapat kian kehilangan maknanya
Dari tayangan ceramah islam itu indah tersebut sangat jelas sekali terlihat beberapa aspek yang mengandung komodifikasi. Aspek yang pertama adalah penceramah dari tayangan tersebut adalah Ustad Nur Maulana yang sering disapa ustad Maulana, kenapa harus ustad Maulana yang memimpin acara tersebut padahal masih banyak ustad-ustad lain yang lebih mendalami ilmu agama seperti kiayi-kiayi di pesantren yang ilmu alamanya sudah tidak di ragukan lagi. Hal ini di karenakan ustad Maulana memiliki nilai jual ketimbang para kiayi-kiayi di pesantren.
Ustad Maulana mempunyai penampilan yang bisa dikatakan lebih modern ketimbang para kiayi yang hanya memakai sarung, baju taqwa dan kopyah. Selain itu ustad Maulana memiliki cara bicara yang kocak dan juga khas bahkan dalam setiap ceramahnya dia menambahkan sedikit humor agar audiens tidak bosan. Cara bicara yang seperti itulah yang menjadi nilai jual dari sosok ustad Maulana meski sebagian orang mengatakan bahwa gaya bicara yang khas itu mirip dengan gaya bicara seorang banci.
Bentuk komodifikasi yang kedua dari tayangan ceramah tersebut adalah dalam setiap tayangan selalu mengundang artis pria dan wanita sehingga bisa menarik perhatian audiens, artis yang di undang biasanya sesuai dengan tema yang diangkat pada ceramah yang akan disampaikan seperti jika tema ceramahnya “Pikun” maka artis yang di undang adalah para artis senior dan jika ceramahnya tentang “pergaulan” maka artis yang diundang adalah artis-artis muda. Selain itu di penghujung acara biasanya ustad Maulana menggelar doa bersama dengan di iringi instrumen-instrumen tertentu, pada saat berdoa itulah ustad Maulana mencari seseorang yang menangis di tengah doa yang dibacakan oleh beliau, syukur-syukur jika yang menangis adalah artis yang di undang karena dengan begitu perhatian akan secara langsung berpihak padanya dan otomatis itulah yang akan menaikkan rating acara tersebut.
Dalam setiap episode ceramah “islam itu indah” ini juga tidak menetap di tempat itu-itu saja, acara tersebut biasanya juga mendatangi lembaga-lembaga tertentu. Seperti halnya panti asuhan dan lembaga pendidikan (sekolah) juga menjadi tempat yang menjadi favorit tayangan tersebut karena dengan begitu masyarakat akan semakin menyukai ustad Maulana dan dianggap mempunyai sikap sosial yang baik efeknya masyarakat akan semakin menyukai tayangan ceramah tersebut.
§  ANALISIS DATA
Keberhasilan program dari tayangan televisi biasanya ditentukan oleh rating yang ditentukan oleh lembaga independen. Tayangan dikatakan baik, apabila menduduki rating tinggi dalam penilaian surveinya. Survey tentang rating juga sekaligus menjadi bahan pertimbangan untuk meneruskan atau menghentikan program-program siaran televisi.
Tayangan televisi seperti tayangan ceramah “Islam Itu Indah” yang di bawakan oleh seorang Ustad bernama Nur Maulana merupakan bagian kecil dari sebuah system media massa di masyarakat kapitalistik. Tayangan ini tidak serta merta karena kepentingan masyarakat yang haus akan ilmu agama, kebutuhan pengetahuan agama Islam yang diinginkan oleh kaum santri dan abangan ditangkap oleh system media kapitalistik sebagai lahan emas untuk proses akumulasi capital.
Perspektif McDonaldisasi memandang komodifikasi ceramah islam ini kedalam empat aspek yakni efisiensi, kalkulabilitas, prediktabilitas, dan kontrol melalui teknologi nonmanusia.  Dalam analisis efisiensi, ceramah islam diatas menerapkan pola penggarapan yang serba cepat mulai dari syuting, editing, mixing, sampai finishing semua dikerjakan serba instan dengan tema yang akrab dengan kehidupan sehari-hari. Tayangan ceramah islam membuat orang tidak perlu ke masjid atau lembaga-lembaga dakwah tertentu untuk mendengarkan ceramah dari ustad atau kiayi. Bisa dibayangkan repotnya kalau hanya ingin mendengar ceramah harus selalu pergi dari rumah. Kita hanya perlu duduk didepan televisi untuk dapat melihat tayangan televisi yang dapat juga menambah khasanah pengetahuan agama. Orang juga tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku-buku religius karena buku-buku tersebut telah diterjemahkan dalam bentuk ceramah islam di televisi. Tayangan ceramah juga tidak memerlukan waktu yang lama dan di bungkus secara apik jadi audiens tidak akan bosan mendengarkan.
Analisis kalkulabilitas menempatkan kuantitas diatas kualitas. Pada fenomena tayangan ceramah islam dapat dibaca dari fenomena banyaknya jumlah ceramah-ceramah yang beredar pada stasiun-stasiun televisi. Padahal apabila dicermati lebih jauh, mayoritas rumah produksinya adalah sama. Pada bulan Ramadan tayangan-tayangan dalam bentuk ceramah islam mengambil frekuensi tayang yang sering, biasanya tayangan ceramah-ceramah tayang waktu sahur dan menjelang buka puasa. Pendengar terjebak pada strategi yang dibuat oleh pengelola stasiun untuk membuat mereka menjadi lebih tahan didepan televisi. Caranya adalah menyela dengan iklan apabila artis yang di undang sedang menceritakan pengalaman yang berkaitan dengan tema yang diangkat pada episode tersebut. Strategi ini berfungsi untuk membuat orang menjadi penasaran sehingga tidak beranjak dari tempat duduknya.
Tayangan cerah “islam itu indah” mendasarkan tolak ukur audience rating (tingkat ketertontonan acara televise) dalam pola-pola kerjanya. Audience rating ini juga untuk melihat banyaknya iklan yang terserap ke dalam tayangan ceramah. Pola ini menghasilkan output kerja tidak seimbang dimana bertahan atau tidaknya sebuah tayangan ceramah islam bergantung pada sedikit atau banyaknya iklan yang diperoleh bukan pada kualitas yang sesungguhnya. Selain audience rating, ceramah islam juga menggunakan audience share yakni presentase dari jumlah rumah yang menggunakan televisi yang menyetel channel tertentu. Angka ini ditentukan dengan membagi jumlah orang yang menyetel channel tertentu dengan jumlah rumah yang menggunakan televisi.
Audience rating ini merupakan satu kekuatan yang hegemonik yang mengatur dan menentukan strategi telivisi dalam menayangkan tayangan ceramah islam. Pemikiran ini hanya memikirkan banyaknya jumlah episode ceramah dan bagaimana ceramah tersebut bertahan.
Dalam analisis prediktabilitas atau keseragaman tayangan ceramah memproduksi tayangan yang sama. Ceramah yang kita lihat dari Jakarta akan sama apabila dilihat dari Surabaya. Tidak ada perbedaan sepanjang ceramah yang dilihat tema dan rumah produksinya sama. Ceramah-ceramah islam selalu memproduksi tema-tema yang sama yakni tema mengenai agama. Tema-tema yang diangkat biasanya seputar ajaran kebaikan, kateladanan dan bercerita mengenai sesuatu yang terpuji. Disamping itu nuansa simbol-simbol agama seperti jilbab, baju koko, peci, ustad, mengaji pasti selalu ada dalam setiap tayangan. Produksi keseragaman dilakukan untuk melembagakan tayangan ceramah islam. Mau dilihat atau ditonton dilokasi manapun tema maupun simbol-simbol yang dimunculkan akan sama dan seragam.
Artis-artis yang di undang dalam ceramah ustad Maulana ini juga mengandalkan artis-artis yang lagi naik daun artinya dalam logika kapitalis bintang yang top akan memberikan ketertarikan terhadap pemirsa. Dengan banyaknya pemirsa yang menonton, maka audience share nya juga akan tinggi. Dengan demikian situasi ini akan melahirkan iklan-iklan yang terdorong untuk masuk menjadi sponsor. Keuntungan buat rumah produksi, pemilik stasiun TV  dan pengiklan tentunya.
Definisi mutu ceramah islam tidak lagi dirumuskan dari ukuran tema yang diangkat atau seberapa dalam penceramah mendalami ilmu agama islam. Ukuran mutu diukur oleh parameter industrial. Penilaian ini mengisyaratkan terjadinya kesesuaian antara supply produk dan jasa dengan harapan konsumen yang diukur dengan audience rating.
Sebuah analisis kontrol melalui teknologi nonmanusia ditunjukkan dengan bekerjanya kamera-kamera, lighting, efek visual, tata suara dan lainnya. Dalam hal ini manusia hanya berfungsi sebagai pengoperasi saja dari alat-alat dengan basis teknologi tersebut. Otoritas manusia terbatasi pada kemampuan mereka dalam mengoperasikan teknologi-teknologi tersebut.
Komodifikasi ceramah “islam itu indah” ustad Maulana ini termasuk dalam kategori komodifikasi komplikasi antara komodifikasi konten atau isi media komunikasi dengan komodifikasi audiens. Selain karena konten/isi media dibuat sedemikian rupa sehingga benar-benar menjadi kesukaan publik meski hal itu kebutuhan public yang dikomodifikasikan, pengesahan segala cara dilakukan demi mendapat perhatian audiens yang tinggi juga karena audiens dijadikan komoditi para media untuk mendapatkan iklan dan pemasukan. Kasarnya media ,enjual rating atau share kepadda advertiser untuk dapat menggunakan air time atau waktu tayang.
Media massa telah menjadi wahana peiklanan utama yang menghubungkan produsen dengan konsumennya. Media massa juda telah menjadi mediator penting antara Negara denan rakyatnya. Sehingga jelas sudah bahwa media memang tidak hanya menjalankan fungsi sosial namun juga fungsi ekonomis dan bahkan politik ideologis.
Persaingan dan berbagai upaya yang muaranya pada perolehan profit sebesar-besarnya menjadi tidak terelakkan. Disinilah idealisme media yang semula menjadi pelayanan publik, yang merefleksikan realitas yang ada di masyarakat menjadi bias. Produk media kemudian bermetamorfosis menjadi tidak lebih dari sebuah komoditas yang perhitungannya hanya diukur dari seberapa besar uang atau keuntungan yang bisa dihasilkan, seperti halnya tayangan ceramah “Islam Itu Indah”  yang tidak hanya ditayangkan karena merupakan kepentingan publik melainkan juga untuk mendapatkan keuntungan. Disinilah komodifikasi berlangsung, mengubah nilai guna menjadi nilai tukar dalam perspektif ekonomi politik media.
C.     KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam komodifikasi agama melalui ceramah “Islam Itu Indah”, agama hanya dilihat sebagai komoditas dalam sistem pasar. Definisi mutu ceramah islam tidak lagi dirumuskan dari ukuran tema yang diangkat atau seberapa dalam penceramah mendalami ilmu agama islam. Ukuran mutu diukur oleh parameter industrial. Kaum kapitalisme mengambil ceramah islam sebagai sebuah sarana untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Pendidikan keagamaan yang tertanam didalam tema-tema yang diangkat hanyalah sebuah kamuflase untuk menarik pasar. Apabila pasar menyukai ceramah tersebut maka eksistensi ceramah islam akan terus berkembang, namun sebaliknya apabila masyarakat sudah mulai jenuh dengan tayangan ceramah tersebut maka ceramah tersebut dengan sendirinya akan lenyap seperti halnya ceramah yang dipimpin ustad Aa Gym. Disinilah arti penting dari sebuah audience rating. Secara tidak langsung masyarakat telah dihegemoni oleh media, maka dari itu diharapkan masyarakat lebih memilah dan mamilih lagi mana tayangan yang bermanfaat dan mana tayangan yang kurang bermanfaat. Dan untuk awak media setidaknya lebih memfokuskan tayangan yang menjadi kebutuhan dan lebih bermanfaat bagi masyarakat karakter suatu bangsa bisa dinilai dari tayangan-tayangan di media tang ada.









D.    DAFTAR PUSTAKA
Fukuyama , Francis. 2007. The Great Disruptions: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial. Jakarta: Penerbit Qalam
Ritzer, George. 2002.  Ketika Kapitalisme Berjingkrang: Telaah Kritis Terhadap Gelombang McDonaldisasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mosco, Vincent 2ed. The Political Economy of Communication
Website